Home / Opini

Selasa, 2 September 2025 - 10:10 WIB

Tragedi Utsman: Kerja Politik Belah Bambu dan Politisasi Agama

dok, pixabay

dok, pixabay

Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si
Akademisi UNTIRTA

Menyuarakan aspirasi adalah hak, bahkan dalam tradisi Islam dikenal sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Namun aspirasi tanpa nalar kritis mudah ditunggangi kepentingan.

Ketika emosi lebih kuat daripada akal sehat, suara kebenaran bisa bergeser menjadi legitimasi kekerasan. Sejarah menunjukkan betapa rapuhnya garis pemisah antara kritik yang konstruktif dan anarki atas nama agama.

Salah satu luka peradaban yang tak kunjung sembuh dalam sejarah awal Islam adalah tragedi terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, di rumahnya sendiri.

Peristiwa itu bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan awal dari retakan besar yang membelah umat. Hingga hari ini, luka tersebut masih meninggalkan bekas dalam perdebatan politik dan teologi di dunia Islam.

Dalil sebagai Senjata
Massa dari Mesir, Kufah, dan Bashrah datang ke Madinah membawa ayat dan hadis sebagai senjata retorik. Amar ma’ruf nahi mungkar dikumandangkan, larangan zalim dijadikan alasan, hingga hadis tentang mengubah kemungkaran dipakai sebagai pembenaran.

Utsman dituding nepotis, tidak adil, bahkan menyimpang dari ajaran Nabi. Dalam retorika para agitator, termasuk Abdullah bin Saba, perlawanan terhadap khalifah dipoles sebagai ibadah.

Baca Juga  Lulu Putri Mascantika Terpilih sebagai Koordinator Forpis Provinsi Banten

Namun di balik semua itu, massa sejatinya membawa dendam. Ada dendam politik karena pergantian gubernur yang mereka sukai, kecemburuan sosial akibat distribusi baitul mal, juga dendam ideologis setelah standarisasi mushaf dianggap menghapus bacaan sahabat lain.

Belum lagi dendam pribadi orang-orang yang tersisih dari lingkar kekuasaan. Semua meleleh menjadi tuntutan bersama: turunkan Utsman.

Sahabat yang Terkepung
Sahabat-sahabat besar hadir. Ali memberi nasihat agar kebijakan diperbaiki, tapi menolak jalan kekerasan. Thalhah dan Zubair pernah menyuarakan kritik, meski tidak menghendaki terbunuhnya khalifah.

Aisyah pun pernah menyampaikan ketidakpuasan. Ironisnya, suara-suara ini justru dipelintir menjadi legitimasi moral bagi massa.

Utsman sendiri memilih tidak melawan. Hasan, Husain, dan Abdullah bin Zubair sudah siap menjaga rumahnya, tetapi ia menolak perlawanan bersenjata.

Ia tidak ingin darah kaum Muslimin tertumpah demi kursi kekhalifahan. Sikap sabar itu berbuah tragis. Massa akhirnya menerobos rumah dan membunuhnya.

Di balik semua kekacauan, Abdullah bin Saba memainkan peran. Ia menjatuhkan reputasi Utsman, sambil mengangkat nama Ali ibn Abi Thalib.

Hadis yang menyamakan kedudukan Ali dengan Harun bagi Musa, juga peristiwa Ghadir Khum, dijadikan dasar untuk mengklaim bahwa Ali adalah pewaris sah Nabi. Dari titik inilah benih-benih Syi’ah ekstrem mulai tumbuh, meski Ali sendiri menolak dikultuskan.

Baca Juga  Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Pelajaran untuk Indonesia
Tragedi Utsman mengajarkan satu hal: agama yang seharusnya menjadi cahaya bisa berubah menjadi bahan bakar kebencian ketika ditafsirkan sempit demi kepentingan politik.

Dalil yang mestinya membimbing keadilan, justru dipakai untuk melegitimasi kekerasan. Bahkan sahabat besar pun tidak kuasa menahan gelombang ketika emosi, dendam, dan klaim agama bercampur jadi satu.

Pelajaran ini terasa dekat dengan kita. Di Indonesia, agama kerap dibawa ke jalanan dalam bentuk mobilisasi politik. Demonstrasi atas nama moral atau akidah kadang menyimpan dendam ekonomi dan politik di belakangnya.

Teriakan amar ma’ruf bisa bercampur dengan perebutan kursi, sementara semangat nahi mungkar berubah menjadi serangan personal. Ujungnya bukan persatuan, tetapi perpecahan.

Tragedi Utsman ibn Affan menjadi cermin: ketika agama dipakai sebagai alat kuasa, hasilnya bukan keadilan, melainkan anarki.

Bagi kita hari ini, tantangannya adalah menjaga agar dalil tidak jatuh ke tangan provokator, agar iman tidak ditukar dengan kepentingan sesaat. Sejarah sudah cukup memberi peringatan, tinggal apakah kita mau belajar darinya.**

Share :

Baca Juga

Opini

Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Opini

Belajar Tanpa Tembok: Dari Diskusi Ke Kolaborasi Aksi

Opini

Oase Moral yang Mengering

Opini

Matinya Rasa Kemanusiaan

Opini

Karakter Jawara Guru Peradaban

Opini

Refleksi Jalan Terjal Pendidikan Guru Indonesia

Opini

Sekolah Gratis: Nasib Guru dan Mutu Pendidikan

Opini

Menghidupkan Kembali Sistem Pendidikan Kasunyatan