LEBAK, PUBLISIA.ID-Rangkaian kegiatan Seren Taun Kasepuhan Cisungsang, Kabupaten Lebak, Banten, dimulai pada Senin (22/9/2025) pagi.
Diawali dengan pembukaan acara Festival Objek Pemajuan Kebudayaan yang berlangsung meriah di panggung utama. Prosesi pembukaan berjalan khidmat dan penuh semangat, menandai dimulainya kegiatan budaya yang diharapkan mampu memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian tradisi.
Di panggung utama juga ditampilkan berbagai kesenian tradisional, di antaranya Tari Persembahan, alunan Angklung, serta atraksi Pencak Silat yang memukau penonton.
Sesi sambutan diawali oleh perwakilan unsur pendidikan, Suwandi, yang menekankan pentingnya menanamkan nilai budaya sejak dini di lingkungan keluarga dan sekolah.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dosen Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), Dr. Yoki Yusanto, S.Sos., M.I.Kom., yang memberikan semangat kepada para siswa yang akan mengikuti berbagai perlombaan Festival Objek Pemajuan Kebudayaan.

Puncak pembukaan berlangsung saat perwakilan Kasepuhan Cisungsang, Cassandra Cleo Berliana Inten, naik ke panggung utama untuk menyampaikan sambutan sekaligus meresmikan dimulainya festival. Suasana semakin khidmat dengan doa bersama yang menjadi penutup rangkaian pembukaan.
Dialog Budaya: Regenerasi Masyarakat Adat Masa Kini
Setelah acara pembukaan, festival dilanjutkan dengan dialog budaya bertajuk “Regenerasi Masyarakat Adat Masa Kini.”
Dialog ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Yoki Yusanto, S.Sos., M.I.Kom. (akademisi), Juhendi, S.Sos. (Founder DariPohonAren), serta Cassandra Cleo Berliana Inten (Incu Putu Kasepuhan Cisungsang).
Diskusi dipandu oleh fasilitator Henriana Harta dan diikuti oleh sekitar 50 peserta, juga dihadiri oleh perwakilan dari Kemitraan.
Para narasumber menyampaikan pandangan terkait tantangan regenerasi adat:
Juhendi menuturkan kegelisahannya melihat anak muda di kampung yang sering merasa bingung menentukan arah. Ia menginisiasi Aren Lab sebagai ruang belajar generasi muda adat.
“Harapan saya, Aren Lab bukan hanya soal komoditas nira, tetapi wadah komunitas untuk belajar dan berkembang,” jelasnya.
Cassandra Cleo Berliana Inten menyoroti rasa malu yang kerap muncul di kalangan generasi muda ketika mengekspresikan budaya.
“Mudah dilakukan, tetapi sulit dicontoh. Misalnya, perempuan dianjurkan memakai samping, namun banyak yang enggan karena malu,” ungkapnya.
Dr. Yoki Yusanto menekankan pentingnya dokumentasi budaya. “Sebagian besar tradisi di Cisungsang diwariskan secara lisan. Tugas generasi muda adalah menuliskannya agar bisa menjadi bahan kajian di masa depan,” tegasnya.
Dialog Budaya juga membahas perasaan bangga menjadi pemuda adat:
Juhendi mengaku dulu sempat ingin kampungnya lebih modern. Namun, kini ia menyadari bahwa tradisi seperti memasak dengan hawu (tungku) justru menjadi kelebihan yang menghubungkan masyarakat dengan alam dan leluhur.
Cassandra menambahkan, meski awalnya ingin mengikuti gaya berpakaian modern, kini ia bangga mengenakan kebaya dan samping.
“Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Menurut saya, berpakaian adat juga tetap keren,” ujarnya.
Antusiasme peserta terlihat melalui berbagai pertanyaan, mulai dari bagaimana menjaga adat agar tidak hilang, bagaimana menumbuhkan kecintaan pada tradisi, hingga cara mengajak generasi muda untuk mencintai budaya.
Juhendi menekankan bahwa menjaga adat adalah tanggung jawab bersama. Ia sendiri baru merasa bangga setelah menyaksikan langsung ritual Seren Taun yang menggerakkan hatinya untuk kembali pulang.
Cassandra berbagi upaya melalui media sosial dan kegiatan dagang kebaya serta samping, sambil mengajak teman-temannya melestarikan budaya.
Dr. Yoki menegaskan fenomena lunturnya tradisi tidak hanya terjadi di Cisungsang, melainkan juga di berbagai wilayah lain. Ia menekankan pentingnya dokumentasi budaya dan memberi kesempatan generasi muda untuk memimpin.
Lomba Pencak Silat
Sementara dialog budaya berlangsung, di waktu yang bersamaan Lomba Pencak Silat juga digelar di panggung utama. Lomba ini diikuti oleh delapan peserta, terdiri atas tiga peserta dari kategori SMA/sederajat dan lima peserta dari kategori SMP/sederajat.
Para peserta menampilkan jurus-jurus khas pencak silat dengan penuh semangat, memperlihatkan keterampilan sekaligus nilai sportivitas.
Lomba ini tidak hanya menjadi ajang unjuk kebolehan, tetapi juga menjadi sarana untuk menumbuhkan kebanggaan generasi muda terhadap seni bela diri tradisional yang sudah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Sunda, khususnya di Kasepuhan Cisungsang.
Ritual Adat Rasul Pare di Leuit
Pada siang harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, rangkaian acara dilanjutkan dengan ritual adat Rasul Pare di Leuit yang dilaksanakan di Imah Gede Kasepuhan Cisungsang.
Ritual ini merupakan salah satu prosesi penting yang menjadi pembuka menuju perayaan Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang.
Prosesi dipimpin langsung oleh Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang, Abah Usep Suyatma Sr., dan diikuti oleh perwakilan rendangan, para kokolot, serta perangkat adat.
Suasana berlangsung khidmat, dengan seluruh peserta ritual mengikuti tata cara adat yang sudah diwariskan turun-temurun.
Menurut penjelasan Kang Ewang, salah satu perangkat Lembaga Adat Kasepuhan Cisungsang, Rasul Pare di Leuit berisi wejangan serta arahan dari Abah kepada masyarakat, khususnya terkait kehidupan bertani.
Abah memberikan nasihat agar para petani tetap menjaga tata cara bercocok tanam sesuai adat, sekaligus menekankan pentingnya keselarasan dengan alam.
Selain wejangan, Kang Ewang juga menjelaskan bahwa dalam ritual ini para perwakilan rendangan juga menyampaikan laporan mengenai hasil panen baik dari padi sawah maupun huma (ladang), termasuk kendala-kendala yang dihadapi selama masa tanam.
Ritual Rasul Pare di Leuit memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Kasepuhan Cisungsang. Leuit (lumbung padi) dipandang sebagai simbol kesejahteraan dan keberlangsungan hidup.
Dengan memasukkan padi hasil panen ke dalam leuit, masyarakat meyakini adanya restu dan berkah dari leluhur agar hasil panen tetap terjaga, mencukupi kebutuhan, dan membawa kebaikan bagi seluruh warga kasepuhan.
Ritual ini juga menjadi momentum pengingat bahwa bertani bukan hanya soal mengolah tanah, melainkan juga bentuk pengabdian kepada alam, leluhur, dan Sang Pencipta.
Dengan begitu, generasi muda diharapkan terus memaknai pertanian bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga identitas budaya yang harus dijaga. ***