Home / Opini

Selasa, 19 Agustus 2025 - 09:21 WIB

Sekolah Gratis: Nasib Guru dan Mutu Pendidikan

Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

“Tidak ada makan siang yang benar-benar gratis.” Pepatah lama itu terasa relevan dengan polemik pendidikan kita hari ini.

Pemerintah menggaungkan sekolah gratis sebagai kebijakan pro-rakyat, namun di balik slogan tersebut, ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab: siapa yang menanggung beban kesejahteraan guru?

Pendidikan yang bermutu tidak mungkin lahir dari guru yang hidup dalam keprihatinan. Ibarat sayuran di pasar, yang dibayar tunai di pagi hari tetap segar, sedangkan yang dibiarkan hingga siang lalu diberikan cuma-cuma sudah layu.

Begitu pula pendidikan: jika guru dibayar seadanya, mutu pembelajaran pun ikut layu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menegaskan, memberi gaji guru setara UMR saja sulit ditanggung oleh APBN. Padahal, Indonesia memiliki lebih dari 3 juta guru. Jika semuanya digaji setara UMR (sekitar Rp4 juta per bulan rata-rata), negara membutuhkan lebih dari Rp150 triliun per tahun hanya untuk gaji dasar—belum termasuk tunjangan dan pensiun.

Baca Juga  Kelas Musyawarah

Pertanyaannya kemudian: apakah gaji guru harus sepenuhnya ditanggung negara? Dari sisi konstitusi, jawabannya jelas: ya, karena UUD 1945 Pasal 31 mewajibkan negara membiayai pendidikan. Namun dari sisi fiskal, beban itu terlalu berat jika hanya ditopang APBN.

Jalan tengahnya adalah memastikan standar minimum gaji guru—setidaknya setara UMR—ditanggung negara sebagai penjamin utama.

Sementara itu, daerah melalui APBD, dan yayasan pada sekolah swasta, dapat memberi tambahan sesuai kapasitas. Dengan demikian, tidak ada guru yang dibayar di bawah standar, dan mutu pendidikan dapat dijaga.

Belajar dari Banten

Provinsi Banten memberikan cermin bagaimana tarik-menarik kebijakan ini berlangsung. Sejak awal 2025, Tunjangan Tugas Tambahan (Tuta) tidak lagi dibayarkan.

Baca Juga  Bukan Soal Indra dan Andra: Perbaiki Sekolah

Guru-guru protes, bahkan mengancam mogok massal. Pemerintah Provinsi berdalih, aturan pusat menyebut tugas tambahan sudah masuk beban kerja guru.

Namun, Banten juga melakukan koreksi: menyiapkan Rp109 miliar untuk kesejahteraan guru non-ASN, mengangkat lebih dari 5.000 guru menjadi PPPK, serta memperbaiki mekanisme penyaluran tunjangan ASN agar langsung masuk rekening guru.

Pelajaran dari Banten jelas: tanpa kepastian standar dan jaminan negara, guru akan terus menjadi korban tarik-ulur kebijakan pusat dan daerah.

Penutup

Sekolah gratis memang terdengar manis di telinga rakyat. Namun jika guru terus dibiarkan bergaji layu, jangan salahkan bila mutu pendidikan ikut layu. Gratis bagi siswa harus dibarengi dengan layak bagi guru. Negara wajib hadir, bukan hanya lewat slogan, tetapi lewat jaminan gaji minimum yang bermartabat.***

Share :

Baca Juga

Opini

Bukan Soal Indra dan Andra: Perbaiki Sekolah

Opini

Kehadiran Negara dalam Pesantren (Refleksi Menjaleng Hari Santri 22 Oktober)

Opini

Cimarga: Lonceng Runtuhnya Moral Sekolah

Opini

Penguatan Mustanir dan Mustamir Masjid

Opini

Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Opini

Belajar Tanpa Tembok: Dari Diskusi Ke Kolaborasi Aksi

Opini

Tragedi Utsman: Kerja Politik Belah Bambu dan Politisasi Agama

Opini

Oase Moral yang Mengering