Oleh: Ahmad Muhibi
Pagi di pesantren
Pagi di pesantren datang dengan kesunyian yang jujur. Dari surau kecil terdengar lantunan ayat suci, berpadu dengan aroma kopi hitam dan suara sandal yang diseret di tanah lembap. Para santri menjemur sarung, menyapu halaman, menimba air, lalu berbaris menuju kelas. Tak ada sorotan kamera, tak ada tepuk tangan, hanya disiplin, kesabaran, dan keikhlasan yang tumbuh pelan-pelan.
Namun di luar pagar pesantren, realitas sosial bergerak dengan cara yang berbeda. Belum lama ini, sebuah program televisi menampilkan kehidupan santri dalam balutan humor. Adegan seorang santri yang minum susu sambil jongkok ditampilkan sebagai bagian dari hiburan. Sebagian penonton mungkin tertawa, rating acara meningkat, sementara para santri memaknainya dengan heran karena merasa makna kesahajaan mereka tidak sepenuhnya dipahami. Kesederhanaan yang mereka jaga berubah menjadi bahan komedi. Di situ, cermin kebudayaan kita retak, yang tampak di layar bukan kenyataan, melainkan bayangan yang dipelintir.
Menertawakan yang tak dipahami
Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menulis, “Taste classifies, and it classifies the classifier.” Kutipan ini berarti bahwa selera bukan hanya alat untuk menilai sesuatu, tetapi juga cermin yang menyingkap siapa yang sedang menilai. Ketika seseorang menertawakan kesederhanaan santri, tawa itu sesungguhnya lebih banyak menceritakan si penonton daripada objek yang ditertawakan.
Bourdieu menjelaskan bahwa di balik setiap tawa, ada modal budaya (cultural capital) yang bekerja. Kelompok dominan, dalam hal ini industri hiburan dan media, memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang dianggap lucu, indah, atau pantas. Mereka mendefinisikan realitas sesuai selera pasar. Dan di bawah kuasa itu, pesantren dengan kesahajaan dan nilai adabnya tampaknya menjadi tidak relevan bagi tontonan publik.
Adegan santri minum susu sambil jongkok atau duduk, misalnya, dianggap “aneh” karena tidak sesuai dengan norma visual modern. Padahal, bagi santri, itu adalah bentuk adab. Kamera tidak merekam makna itu, ia hanya merekam gestur. Dan di situlah letak masalahnya, kita semakin piawai melihat, tapi semakin malas memahami.
Pesantren dan makna yang tak tertangkap kamera
Menurut data resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (SatuData Kemenag, Oktober 2025), terdapat 42.321 pondok pesantren aktif dengan lebih dari 6,4 juta santri mukim dan non mukim di seluruh Indonesia. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga benteng sosial yang menjaga kohesi masyarakat di tingkat akar rumput. Temuan World Bank (2024) dalam laporan Realizing Education’s Promise: Support to Indonesia’s Ministry of Religious Affairs for Improved Quality of Education, menyebut bahwa pesantren memiliki kontribusi signifikan terhadap pemerataan pendidikan dan pembangunan sosial di komunitas akar rumput. Pesantren terbukti memperkuat social capital, kepercayaan, solidaritas, dan kepemimpinan moral, yang menjadi fondasi penting bagi stabilitas sosial Indonesia.
Sayangnya, peran besar ini jarang muncul di layar televisi, yang sering muncul hanyalah parodi sarung, logat daerah, dan sandal jepit. Pesantren direduksi menjadi latar komedi, padahal di dalamnya ada 6 juta lebih generasi muda yang mempelajari moralitas, bahasa, dan logika berpikir yang sistematis.
Santri, kesantunan, dan layar yang retak
Seorang kiai pernah berkata, “Santri itu belajar menunduk agar tak mudah menunjuk.” Kalimat itu sederhana, tapi mengandung kedalaman moral yang jarang ditemukan di luar pesantren. Menunduk bukan tanda rendah diri, melainkan bentuk penghormatan terhadap ilmu dan kehidupan. Di pesantren, santri diajarkan untuk berbicara setelah mendengar, dan menghormati sebelum menilai.
Kini, di tengah masyarakat yang berlomba tampil, santri justru belajar untuk menepi. Mereka tidak memerlukan sorotan untuk berharga. Mereka tetap mengaji di bawah lampu redup, tetap berwudu sebelum fajar, dan tetap memuliakan guru dalam diam. Ketika dunia berlomba menjadi viral, pesantren tetap setia pada keheningan.
Dan barangkali, di situlah letak kemajuan yang sejati, mereka menjaga hal-hal yang tidak lagi dianggap penting oleh dunia. Maka ketika layar menertawakan pesantren, yang sebenarnya pecah bukan wajah santri, melainkan cermin kebudayaan kita sendiri. Kita kehilangan kemampuan untuk melihat makna dalam kesederhanaan.
Selamat Hari Santri
Selera adalah wujud kekuasaan yang sering tak terasa. Dan mungkin, di hari santri ini, kita perlu bertanya: selera siapa yang sedang mengatur cara kita memandang yang lain? Apakah tawa kita masih tulus, atau hanya gema dari suara mayoritas yang tak mau berpikir?
Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025. Untuk para penjaga makna, pewaris adab, dan penjaga cahaya ilmu, tetap tenang dan rendah hati, sebab dari kerendahan hati itulah peradaban tumbuh. Santri tidak mencari sorotan, karena ia tahu, cahaya sejati datang dari dalam. (*)
Tentang Penulis:
Ahmad Muhibi adalah Dosen di UIN SMH Banten, saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melalui Program Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB).



















