Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA
Pengantar
Ahad 19 Oktober 2025, Untirta selenggarakan wisuda. Peristiwa yang membahagiakan itu sekaligus menjadi renungan, bahwa kampus tidak hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga rumah bagi pertumbuhan nalar dan karakter. Di sinilah manusia belajar mengenali dirinya, memahami dunia, dan meneguhkan makna pengabdian.
Wisuda bukan sekadar upacara kelulusan, melainkan perayaan perjalanan panjang yang disertai syukur dan kesadaran akan tanggung jawab baru. Setiap toga yang dikenakan adalah janji untuk menjaga martabat ilmu dan mengabdi bagi kemaslahatan. Merayakan wisuda berarti merayakan lahirnya generasi baru yang siap menyalakan harapan bangsa.
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya: laut yang luas, empang dan tambak yang produktif, sawah dan ladang yang subur, kebun dan hutan yang memberi kehidupan. Di bawah tanahnya tersimpan panas bumi, di anginnya berhembus energi, di suryanya memancar cahaya, dan di ruang digitalnya tersimpan data yang menjadi sumber kekuatan baru.
Namun, semua itu menunggu tangan-tangan terdidik yang mampu mengelolanya dengan ilmu dan akhlak. Kampus berperan membentuk generasi yang tak hanya pandai menghitung potensi, tetapi juga bijak memanfaatkannya untuk kesejahteraan bersama. Dalam syukur atas kekayaan alam dan budaya inilah, wisuda menemukan makna terdalamnya.
Pembelajar Sepanjang Hayat
Lulusan sejati tidak berhenti belajar setelah ijazah diterima. Dunia terus berubah, dan setiap perubahan menuntut pembaruan ilmu. Kampus bertanggung jawab menanamkan semangat belajar sepanjang hayat — lifelong learning — agar lulusan tidak mudah terjebak dalam kenyamanan atau kebanggaan semu.
Ilmu pengetahuan harus terus diasah agar tetap relevan dengan kebutuhan zaman. Belajar adalah ibadah intelektual yang tak mengenal pensiun, dan universitas adalah sumber yang tak pernah kering bagi pencarian itu.
Kampus bersinergi dengan pemerintah dan dunia industri untuk merancang masa depan yang lebih terarah. Pendidikan tinggi tidak bisa berjalan sendiri tanpa dialog dengan dunia kerja dan kebijakan publik. Kolaborasi ini melahirkan kurikulum yang adaptif, riset yang aplikatif, dan inovasi yang berdampak luas.
Dengan sinergi tersebut, lulusan tidak hanya memahami teori, tetapi juga menguasai praktik dan kebutuhan nyata masyarakat. Inilah bentuk tanggung jawab kolektif untuk menyiapkan generasi yang siap bekerja, berkreasi, dan memimpin masa depan.
Dalam era globalisasi dan digitalisasi, penguasaan bahasa menjadi kunci penting bagi pembelajar sepanjang hayat. Lulusan perlu menguasai empat bahasa: bahasa ibu untuk menjaga akar budaya dan jati diri; bahasa Indonesia sebagai pemersatu dan pengikat kebangsaan; satu bahasa resmi PBB untuk membuka cakrawala dunia; dan bahasa pemrograman untuk memasuki peradaban digital.
Keempat bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga pintu menuju kolaborasi, inovasi, dan pemahaman lintas zaman. Dengan bahasa, kita bukan hanya berbicara — kita membangun dunia.
Pembangun Daya Saing Bangsa
Insan terdidik adalah fondasi daya saing bangsa. Mereka membawa ilmu untuk mengelola sumber daya alam dan energi terbarukan dengan tanggung jawab ekologis.
Laut, sawah, ladang, dan data semua menunggu kecakapan teknologi dan kejujuran moral untuk dikelola. Daya saing sejati lahir dari keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan etika. Karena itu, kampus harus terus melahirkan lulusan yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga bersih hatinya.
Dunia modern menuntut keunggulan dalam inovasi, riset, dan kerja kolaboratif. Kampus perlu memperkuat laboratorium, pusat kreativitas, dan ekosistem riset yang melibatkan mahasiswa sejak dini.
Pemerintah dan industri menjadi mitra strategis dalam menciptakan riset yang dapat langsung diimplementasikan. Dengan cara itu, ilmu pengetahuan tak berhenti di ruang kelas, tetapi hadir di sawah, di pabrik, di laut, di layar digital, dan di tengah masyarakat. Inilah wujud nyata kampus yang hidup bersama bangsanya.
Lulusan harus siap menghadapi kompetisi global dengan identitas nasional yang kuat. Mereka perlu berpikir lintas batas, namun berakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Daya saing bukan berarti kehilangan jati diri, tetapi memadukan tradisi dengan inovasi.
Ketika mahasiswa belajar menjaga budaya sambil menguasai teknologi, maka Indonesia tidak hanya mengikuti arus global, tetapi turut memberi arah bagi peradaban dunia. Bangsa yang berdaya saing adalah bangsa yang tidak melupakan asalnya.
Pencipta Lapangan Kerja
Kampus modern tidak hanya mencetak pencari kerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja. Dunia kini memerlukan lulusan yang berani memulai, bukan hanya menunggu peluang.
Semangat wirausaha perlu ditanamkan sejak masa studi, agar setiap lulusan mampu melihat tantangan sebagai kesempatan. Kemandirian ekonomi dimulai dari keberanian berinovasi, mencoba, dan belajar dari kegagalan. Inilah jiwa penggerak yang membangun ekonomi bangsa dari bawah.
Dunia kreatif adalah lahan subur bagi generasi muda. Dari seni pertunjukan, hiburan, kuliner, desain, hingga industri digital, terbuka ruang luas bagi ekspresi dan ekonomi baru. Kampus dapat menjadi ruang percobaan bagi ide-ide kreatif mahasiswa yang lahir dari keberanian berpikir di luar kebiasaan.
Dengan dukungan inkubator bisnis dan jaringan industri, gagasan itu bisa tumbuh menjadi usaha nyata. Setiap karya kreatif adalah bentuk cinta terhadap budaya dan cara baru untuk berbakti pada negeri.
Wirausaha sosial menjadi wajah baru dari semangat keilmuan yang berkeadilan. Lulusan yang mengelola usaha berbasis lingkungan, pemberdayaan perempuan, atau pendidikan masyarakat menunjukkan bahwa bisnis dan kemanusiaan dapat berjalan bersama.
Kampus perlu membimbing agar idealisme tidak pudar oleh pragmatisme. Pendidikan sejati tidak berhenti pada kecukupan pribadi, tetapi berlanjut pada kebermanfaatan sosial. Di situlah makna “sarjana” menemukan nilai tertingginya.
Penutup
Setiap wisudawan adalah representasi dari perjalanan panjang pendidikan bangsa. Apa pun profesi yang ditempuh kelak — peneliti, guru, birokrat, teknokrat, seniman, atau pengusaha — semuanya adalah bagian dari tanggung jawab besar terhadap kemajuan Indonesia.
Kampus hendaknya terus menjaga hubungan dengan para alumninya, membangun ekosistem belajar yang berkelanjutan. Dengan begitu, universitas tidak sekadar melahirkan lulusan, tetapi membentuk jaringan penggerak perubahan. Pendidikan tinggi sejati adalah pendidikan yang terus hidup bersama masyarakatnya.
Wisuda adalah perhentian sementara dalam perjalanan belajar yang tiada akhir. Ijazah hanyalah simbol, sedangkan ilmu adalah amanah. Jadilah pembelajar sejati, pembangun daya saing bangsa, dan pencipta lapangan kerja yang memberi manfaat. Bawalah empat bahasa sebagai alat perjuangan, dan jagalah sinergi kampus dengan pemerintah serta industri sebagai ruang kolaborasi.
Dan di atas semua itu, amalkan pesan agung dalam Surah Al-‘Ashr: “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” Dalam spirit surat ini, ilmu harus menjadi amal, dan amal harus menjadi cahaya bagi sesama. (*)