Penulis: Dr. Fadlullah, S.Ag., M.Si. (Dosen PAUD Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
Pertemuan sela Forum Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri se-Indonesia diselenggaran di Universitas Tanjungpura Pontianak, sejak 31 Juli hingga 2 Agustus 2025.
Di sela-sela pertemuan resmi, tuan rumah membawa peserta bertemu sultan pontianak ke-IX Sultan Syarif Mahmud Melvin, SH. dan makan siang bersama di Istana Kadariah.
Kunjungan ini mengingatkan saya pada sejarah lahirnya peradaban Islam di tepi muara. Tidak dengan letusan senjata atau pencakar langit, melainkan dari masjid yang sederhana, istana kayu berarsitektur lokal, dan pasar rakyat yang hiruk pikuk oleh dagang rempah, rotan, dan hasil bumi.
Di Nusantara, dua peradaban besar yang lahir dari muara adalah Banten dan Pontianak.
Keduanya menunjukkan satu hal penting: air adalah awal kehidupan dan peradaban. Sungai, laut, dan muara bukan sekadar aliran air, melainkan jalur dakwah, pusat kekuasaan, dan simpul ekonomi.
Warisan Sungai dan Dakwah
Di Pontianak, muara Sungai Kapuas menjadi tempat Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie mendirikan Masjid Jami’ dan Istana Kadariah pada 1771.
Semua dibangun dari kayu ulin, tanpa paku logam. Dekat, sederhana, dan bersahaja — inilah wajah awal Kesultanan Pontianak.
Jauh sebelumnya, Banten tumbuh di muara Cibanten. Sultan Maulana Hasanuddin (1525-1552 M), putra Sunan Gunung Jati, membangun Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten.
Di sekitarnya, pelabuhan Karangantu menghubungkan Banten dengan Gujarat, Makkah, hingga Lisabon. Islam datang melalui pedagang — bukan penjajah — dan berkembang melalui dialog, bukan dogma.
Kedua wilayah ini menunjukkan bahwa peradaban Islam di Nusantara tumbuh dari air, tumbuh dari rakyat, tumbuh dari harmoni, dan menjunjung tinggi kemajemukan.
Peradaban Kosmopolitanisme Air
Apa persamaan Pontianak dan Banten? Keduanya dibangun dengan pola yang mirip: masjid sebagai pusat spiritual, istana sebagai pusat otoritas, dan pasar atau pelabuhan sebagai pusat ekonomi. Inilah arsitektur peradaban sungai yang khas Nusantara.
Di muara itu pula, budaya lokal dan Islam menyatu. Sunda, jawa, bugis, dan cina bersanding. Banten mewarisi seni ukir dan irigasi, dengan menyuguhkan khazanah Islam melalui syair, debus, dan tradisi maulid.
Pontianak, di sisi lain, memadukan adat Melayu, pengaruh Arab, dan praktik ekologi lokal: rumah panggung, sungai sebagai dapur, dan perahu sebagai sekolah kehidupan. Di Pontianak, tiga suku berdampingan: Melayu, dayak, dan tionghoa.
Muara adalah pintu dunia. Karena itu, baik Banten maupun Pontianak menjadi ruang kosmopolit — terbuka terhadap Tiongkok, Eropa, Arab, dan India, tanpa kehilangan identitas lokal. Di pasar mereka, rempah bertukar dengan kain, bahasa Melayu berdampingan dengan Arab dan Portugis, dan Islam tumbuh dalam interaksi, bukan dalam isolasi.
Di tengah kekacauan dunia digital, globalisasi, dan krisis lingkungan hari ini, kita bisa belajar dari mereka: bahwa keterbukaan tidak harus mengorbankan akar, dan bahwa peradaban bisa tumbuh tanpa harus melupakan alam dan nilai spiritual.
Dari Muara Kita Belajar
Sayangnya, hari ini kita lebih banyak mengagumi gedung pencakar langit dibanding makna air. Laut dan muara dipunggungi, pelabuhan rakyat merana, sungai-sungai kita tercemar, kanal-kanal tua dilupakan, situs-situs bersejarah dibiarkan rusak.
Padahal dari sungai, laut, dan muara, kita bisa belajar banyak hal: tentang kesabaran, keterhubungan, aliran ilmu, dan keadilan. Bukankah Nabi Musa lahir dan diselamatkan melalui sungai? Bukankah di setiap kitab suci, sungai dan air adalah simbol berkah? Bukankah air laut itu suci dan bangkai (ikan) nya halal?
Pontianak dan Banten adalah dua warisan yang belum habis dibaca. Masjid, istana, dan pasar mereka bukan benda mati, melainkan cermin dari semangat Islam Nusantara yang inklusif, maritim, dan berbasis pada rakyat. Kita butuh kembali ke muara. Bukan untuk mundur, tapi untuk menyegarkan ulang arah peradaban — agar pembangunan tak kehilangan akar, dan kemajuan tak kehilangan makna.*