Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Ketua Bidang Kajian Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI) Pusat
Kegelisahan Kuntowijoyo tentang “generasi tanpa masjid” menjadi peringatan keras bagi umat Islam.
Generasi tanpa masjid ini meliputi dua model. Pertama, mereka aktif mengkaji Islam secara kritis dengan memanfaatkan media digital dan kehilangan sanad matarantai keilmuan dari guru atau madzhab tertentuIa,
Kedua, gejala generasi baru yang makin jauh dari masjid, sibuk dengan urusan dunia, dan tidak lagi menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan.
Bila masjid hanya difungsikan sebagai bangunan ibadah formal, tanpa ruh jamaah tetap (mustamir) dan tanpa peran pencerahan (mustanir), maka masjid kehilangan makna sejatinya.
Mustamir adalah makmum tetap, jamaah inti yang konsisten hadir di masjid, shalat berjamaah, dan ikut menghidupkan programnya.
Mereka bukan sekadar pengunjung, melainkan bagian dari jantung spiritual masjid. Masjid pada umumnya tidak memiliki data akurat tentang jamaah tetap (mustamir). Padahal, tanpa mustamir, masjid akan sepi, kehilangan denyut nadi, dan hanya menjadi bangunan kosong.
Mustanir, di sisi lain, adalah fungsi masjid sebagai pusat pencerahan. Dari kata nur (cahaya), mustanir menandakan peran masjid sebagai penerang masyarakat: pusat ilmu, pusat nilai, dan pusat solidaritas.
Di sini perlu ulama, cendekiawan, khatib dan imam yang memiliki otoritas keilmuan tentang ajaran Islam.
Masjid sebagai pencerah (mustanir) bukan hanya membimbing jamaahnya dalam ibadah, tetapi juga menebarkan cahaya pengetahuan, moralitas, dan kepedulian sosial.
Penguatan mustamir berarti memperkuat jamaah tetap agar semakin banyak umat yang merasa memiliki masjid. Kaderisasi menjadi sebuah keniscayaan.
Jamaah inilah yang menjaga kebersihan, mendukung program, menyumbang dana, hingga menjadi relawan untuk kepentingan sosial. Masjid hidup karena mustamir istiqamah hadir dan menghidupkan shaf.
Sementara itu, penguatan mustanir berarti meneguhkan fungsi masjid sebagai pusat pencerahan yang relevan dengan zaman.
Di era modern, masjid tidak bisa hanya fokus pada shalat berjamaah, tetapi juga harus menjadi pusat literasi, dakwah digital, pendidikan anak, hingga pemberdayaan ekonomi umat. Tanpa visi keilmuan, masjid ditinggalkan oleh generasi muda yang kritis dan progresif.
Masjid jami’ di kampung atau kelurahan, misalnya, dapat menjalankan mustanir dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, menguatkan ukhuwah warga, dan menjadi pusat gotong royong sosial. Mustamir yang istiqamah hadir di masjid jami’ inilah yang menjaga agar tradisi ini tidak punah.
Masjid besar di tingkat kecamatan atau kota kecil bisa memperluas perannya. Mustanirnya berupa forum kajian lintas kampung, penguatan remaja masjid, dan pembinaan keluarga sakinah. Mustamir di level ini memperkokoh jaring pengikat antarwarga dari berbagai desa.
Masjid agung di tingkat kabupaten/kota berfungsi sebagai simbol kebudayaan dan identitas daerah. Mustanirnya adalah penyelenggaraan seminar, dialog kebangsaan, dan festival seni Islami. Mustamir yang hadir secara rutin menjadikan masjid agung benar-benar berwibawa, bukan sekadar monumen.
Masjid raya di tingkat provinsi menjadi etalase kebesaran Islam daerah. Mustanirnya terwujud dalam pertemuan tokoh, musyawarah ormas, dan penguatan ukhuwah Islamiyah lintas kabupaten. Mustamir di sini memastikan masjid raya tidak hanya ramai saat acara besar, tetapi juga hidup setiap hari.
Masjid nasional seperti Istiqlal adalah lambang persatuan umat dan bangsa. Sebagai mustanir, masjid nasional berperan memancarkan Islam rahmatan lil ‘alamin ke dunia internasional, sekaligus menjadi ruang dialog antaragama. Mustamir yang rutin beribadah di dalamnya menghadirkan wajah nyata umat Islam Indonesia yang damai.
Masjid sekolah dan kampus adalah mustanir generasi muda. Dari sana lahir tokoh-tokoh intelektual dan aktivis yang berintegritas. Mustamir di masjid kampus adalah para mahasiswa dan pelajar yang konsisten menjadikan masjid sebagai ruang belajar dan berjuang.
Masjid kantor dan instansi menjadi mustanir bagi etos kerja. Shalat berjamaah melatih disiplin, khutbah singkat memberi nasihat moral, dan kegiatan sosial menguatkan integritas birokrasi. Mustamir di masjid kantor adalah para pegawai yang menjadikan masjid bagian dari rutinitas sehari-hari.
Masjid pesantren adalah mustanir ilmu dan sanad keilmuan. Dari sini lahir ulama, pendakwah, dan guru bangsa. Mustamirnya adalah para santri yang hidupnya berporos pada masjid, dari fajar hingga malam, menjadikan masjid benar-benar pusat kehidupan.
Masjid ormas, baik NU, Muhammadiyah, Persis, atau lainnya, adalah mustanir dengan corak khas. Ia melahirkan kader dakwah, gerakan sosial, dan penguatan ideologi kebangsaan. Mustamir di masjid ormas adalah jamaah loyal yang merawat kesinambungan dakwah sesuai manhaj masing-masing.
Untuk memperkuat peran itu, diperlukan database mustamir: siapa saja jamaah inti, apa latar belakang mereka, aspirasi, serta kebutuhan yang paling mendesak.
Dengan basis data, takmir bisa merancang program yang sesuai, seperti beasiswa untuk anak jamaah, pelatihan keterampilan, atau layanan kesehatan. Database ini memastikan jamaah merasa terlayani dan masjid benar-benar responsif terhadap realitas umat.
Di sisi lain, penguatan kompetensi mustanir juga penting. Imam, khatib, dan pengurus masjid perlu dibekali keterampilan komunikasi, manajemen komunitas, literasi digital, dan moderasi beragama.
Dengan kompetensi ini, mereka dapat melayani jamaah lebih baik, menjawab pertanyaan umat, serta menyalurkan aspirasi ke dalam program masjid yang inovatif.
Dengan demikian, penguatan mustamir dan mustanir bukan hanya soal jamaah tetap dan cahaya pencerahan, tetapi juga soal data dan kompetensi. Data jamaah yang rapi memudahkan pelayanan, sementara kompetensi mustanir memastikan pencerahan tidak hanya berhenti pada mimbar, tetapi menjangkau seluruh aspek kehidupan.
Kegelisahan Kuntowijoyo tadi sebenarnya menemukan jawabannya di sini. Generasi tanpa masjid hanya bisa dihindari bila umat serius menghidupkan mustamir dan mustanir. Generasi baru harus diajak hadir ke masjid secara rutin, sekaligus diajari bahwa masjid adalah pusat ilmu, kepedulian, dan peradaban.
Revitalisasi masjid di Indonesia, baik di kampung maupun di kota besar, akan berhasil bila kita tidak hanya membangun fisik yang megah, tetapi juga membangun jamaah tetap (mustamir), menghidupkan cahaya pencerahan (mustanir), menyiapkan database jamaah, dan meningkatkan kompetensi pengurus. Dari sinilah lahir generasi masjid yang berilmu, berakhlak, dan berdaya. ***