Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)
Tragedi 30 Agustus 2025 menjadi potret getir bangsa ini. Ketika ribuan orang turun ke jalan menyuarakan kegelisahan, negara justru merespons dengan kekerasan dan represi.
Air mata rakyat bercampur dengan asap gas air mata, teriakan keadilan dijawab dengan pentungan aparat. Bukan hanya luka fisik yang ditinggalkan, tetapi juga luka batin kolektif bahwa suara rakyat kerap dianggap ancaman, bukan aspirasi.
Dalam suasana itu, publik menoleh kepada agamawan dan ormas keagamaan. Mereka yang selama ini diyakini sebagai penjaga nurani publik, diharapkan menjadi penuntun moral di tengah krisis.
Namun, apa yang terdengar? Seruan normatif untuk menghindari anarki, menjaga stabilitas, dan tidak merusuh.
Rakyat yang terluka kembali kecewa, sebab suara keagamaan terdengar lebih sibuk merawat citra penguasa ketimbang mengobati derita masyarakat.
Ironisnya, di banyak kesempatan, ormas keagamaan justru tampil dalam panggung doa bersama dan istighotsah yang diinisiasi oleh kekuasaan.
Doa yang mestinya menjadi jeritan nurani rakyat, berubah menjadi ritual seremonial yang melanggengkan status quo.
Padahal, peran profetik agama bukan sekadar memimpin istighotsah demi ketenangan penguasa, tetapi menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar: menyeru kepada kebaikan, menolak kebijakan zalim, dan menegakkan keadilan sosial.
Lupa ataukah sengaja dilupakan, amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya urusan moral pribadi.
Ia adalah panggilan kolektif untuk memperbaiki masyarakat dan mengoreksi penguasa.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa jihad paling utama adalah mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.
Maka, ketika suara agamawan lebih lantang mengingatkan rakyat daripada menasihati pemerintah, di situlah fungsi amar ma’ruf nahi munkar kehilangan makna sejatinya.
Rakyat tahu, keresahan mereka bukan sekadar “ulah massa”, melainkan lahir dari beban hidup yang kian berat.
Pajak merambah ruang-ruang kehidupan paling sederhana, subsidi dikurangi, lapangan kerja sulit, dan beban hidup rakyat semakin berat.
Di sisi lain, aparatur negara menikmati tunjangan berlapis yang semakin menjauh dari realitas rakyat.
Ketidakadilan itulah yang menyalakan api protes, bukan provokasi semata.
Karena itu, bangsa ini membutuhkan kembali ormas keagamaan sebagai oase moral.
Oase yang tidak sekadar menghadirkan doa-doa indah di mimbar, tetapi juga keberanian untuk menegur penguasa, mendesak kebijakan yang berkeadilan, dan mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.
Sejarah mengajarkan, bangsa ini tidak kehilangan arah selama agamawan berani bersuara. Tetapi bila agamawan justru sibuk berdamai dengan kekuasaan, maka rakyat akan kehilangan pegangan.
Tragedi seperti 30 Agustus akan terus berulang dalam wajah berbeda, karena oase moral yang seharusnya menyegarkan telah mengering.
Kini saatnya agamawan dan ormas keagamaan meneguhkan kembali misi profetiknya: berdiri di sisi rakyat, menyerukan amar ma’ruf nahi munkar, dan menjadi suara kebenaran di hadapan kekuasaan.
Sebab tanpa oase itu, negeri ini hanya akan menjadi padang tandus, tempat dahaga rakyat tak pernah terpuaskan, sementara penguasa terus berpesta di atas gurun penderitaan.*