Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA
Akhir bulan Oktober 2025 ini, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI) menyelenggarakan Rakernas. Tempat di Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Tulisan ini mengingatkan bahwa Masjid kampus selalu punya cara unik untuk menyapa zaman. Ia tidak sekadar tempat sujud, tetapi juga rumah inovasi, tempat lahir ide-ide besar, dan gerakan transformasi sosial yang menyentuh kampus sekaligus masyarakat sekitar.
Sejarah panjang itu dapat kita telusuri sejak berdirinya Masjid Salman ITB di Bandung. Sejak 1964, Salman menjadi lebih dari sekadar pusat ibadah: ia melahirkan Lembaga Kesehatan Salman, Pusat Inovasi Teknologi Tepat Guna, hingga program wirausaha mahasiswa. Salman memperlihatkan bagaimana masjid mampu memadukan doa dan sains, zikir dan inovasi.
Di Yogyakarta, Masjid Salahudin UGM menjelma laboratorium sosial. Melalui Lazis Salahudin, lahir program desa binaan, bank sampah, beasiswa dhuafa, hingga respon cepat bencana. Inovasi sosial ini menegaskan bahwa masjid bukan hanya simbol spiritual, melainkan motor transformasi bagi masyarakat luas.
Di Depok, Masjid Ukhuwah Islamiyah UI dan komunitas Salam UI mendorong gagasan inklusif: inkubator bisnis mahasiswa, program literasi digital, hingga pendampingan UMKM lokal. Dari sini lahir jejaring sosial yang merangkul mahasiswa, dosen, bahkan warga sekitar kampus.
Kini, tradisi itu tumbuh di Banten lewat Balai Kasunyatan FKIP UNTIRTA. Berdiri tahun 2024, Kasunyatan bukan hanya masjid, melainkan pusat pendidikan karakter dan peradaban. Di sini sivitas akademika saling bertukar ide, ruang dialog, dan komunitas pemberdayaan. Di sinilah mahasiswa dengan bimbingan dosen belajar menghubungkan iman dengan literasi, teknologi, dan kepedulian sosial.
Gerakan mahasiswa di Kasunyatan berkembang dalam tiga poros utama. Pertama, ibadah sebagai ritme kehidupan kampus: shalat berjamaah menjadi perekat solidaritas dan disiplin, sementara halaqah mahasiswa melahirkan kebersamaan lintas jurusan. Kedua, literasi Qur’an dan riset ilmiah: tadarus dan kajian tafsir dikaitkan dengan riset multidisiplin, mulai dari pendidikan hingga teknologi digital.
Ketiga, filantropi sosial melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Gerakan mahasiswa mengelola dana kolektif untuk program beasiswa dhuafa, jumat berkah, hingga modal komunitas koperasi mahasiswa dan usaha mikro bagi masyarakat sekitar kampus. Bahkan, unit wakaf Kasunyatan tengah menyiapkan perpustakaan digital terbuka yang bisa diakses oleh pelajar dan guru di pelosok Banten.
Puisi Pelopor Kasunyatan menangkap jiwa itu dengan indah:
Di kasunyatan, kita bertemu
Komunitas belajar, tempat kita bertumbuh
Terbata mengeja kata, memahami makna
Melukiskan cita, menjadi aksara nan indah
Dari Kasunyatan kita berseru
Menuliskan rencana atas nama Tuhan
Dengan hati sabar, memimpin perubahan
Bergerak serentak, tegakkan keadilan.
Untuk kasunyatan, kita bersatu
Tulus berdiskusi, mengasah pikiran
Dengan hati terbuka, hormati perbedaan
Mengambil pelajaran, suarakan kebenaran.
Puisi itu bukan sekadar kata, melainkan mantra transformasi. Kasunyatan menjadi rumah inovasi di mana mahasiswa berlatih kepemimpinan, berjejaring lintas disiplin, dan menghidupi semangat ijtihad sosial.
Dengan demikian, dari Salman di Bandung, Salahudin di Yogyakarta, Salam di Depok, hingga Kasunyatan di Banten, kita melihat pola yang sama: masjid kampus adalah rumah inovasi yang melahirkan gerakan transformasi sosial. Dari sini lahir generasi baru—bukan hanya cerdas akademis, tetapi juga peduli, terbuka, dan siap memimpin perubahan.*



















