Oleh: Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Akademisi UNTIRTA
Mukhtar Lubis, dalam esainya Manusia Indonesia, pernah menyingkap wajah bangsa yang penuh intrik politik, sarat budaya feodal, dan terbiasa dengan muslihat.
Dalam masyarakat feodal, kekuasaan dijaga bukan dengan keterbukaan, melainkan dengan tipu daya yang dibungkus kesetiaan semu. Intrik menjadi bahasa sehari-hari politik feodal: yang kuat menekan dengan simbol kuasa, yang lemah belajar bertahan dengan kelicikan.
Pepatah lama “lempar batu sembunyi tangan” lahir dari realitas itu. Ia adalah gambaran sederhana tentang muslihat yang sudah mengakar dalam perilaku sosial dan politik kita.
Band Wali pernah mengulanginya dengan bahasa pop: ada gajah di balik batu, batunya hilang, gajahnya datang. Pesannya jelas, kepentingan besar tidak bisa selamanya bersembunyi di balik alasan kecil.
Dalam dunia global, muslihat seperti ini dikenal dengan istilah false flag. Sejak lama, strategi ini dipakai untuk mengelabui lawan. Kapal perang dan bajak laut mengibarkan bendera palsu sebelum menyerang.
Dalam perang modern, serangan palsu direkayasa untuk memancing simpati atau membenarkan agresi. Sejarah mencatat insiden Gleiwitz pada 1939, ketika Nazi Jerman merekayasa penyerangan pura-pura oleh tentara Polandia untuk melegitimasi invasi.
Pada dekade 1960-an, militer Amerika pernah merancang operasi Northwoods untuk menciptakan serangan palsu terhadap warga sendiri lalu menuduh Kuba, meski akhirnya dibatalkan.
Mengapa false flag dipakai? Karena ia efektif. Ia dapat menciptakan kambing hitam, mencari legitimasi politik, menutupi skandal besar, mengadu domba rakyat, sekaligus membuka jalan bagi kepentingan ekonomi. Dalam banyak kasus, false flag melahirkan keuntungan bagi elite, tetapi kerugian bagi rakyat.
Di Indonesia, meski istilah ini jarang dipakai, polanya bukan hal asing. Berbagai kerusuhan, pembakaran, hingga konflik horizontal seperti tragedi 30 Agustus 2025 yang lalu, sering menimbulkan pertanyaan: siapa pelaku sesungguhnya, dan siapa yang paling diuntungkan?
Publik kerap diarahkan untuk percaya pada versi resmi, meski jejak-jejak yang tersisa menimbulkan keraguan.
Budaya feodal menjadikan kita mudah tunduk pada narasi penguasa. Mukhtar Lubis pernah mengingatkan bahwa manusia Indonesia cenderung munafik, segan berterus terang, dan patuh kepada simbol kuasa. Inilah lahan subur bagi muslihat.
Rakyat mudah diadu soal identitas, agama, atau ideologi, sementara kepentingan besar melaju di belakang layar tanpa kontrol.
Seperti pepatah Afrika, ketika dua gajah bertarung, rumputlah yang hancur. Setiap kali elite politik, pengusaha besar, atau kekuatan asing berebut kepentingan, rakyatlah yang menjadi korban.
Perhatian publik digiring untuk sibuk dengan isu radikalisme, politik identitas, atau konflik sektarian, sementara skandal korupsi dan perampokan sumber daya berjalan mulus. Inilah wajah lain dari false flag dalam versi lokal.
Pelajaran yang dapat diambil adalah perlunya kewaspadaan. Kita tidak boleh terus-menerus menjadi rumput yang diinjak gajah. Akal sehat harus diasah, kecurigaan yang sehat perlu dipelihara, dan keberanian untuk bertanya siapa sebenarnya yang diuntungkan dari sebuah peristiwa menjadi kunci.
Muslihat memang bisa bertahan sejenak, tetapi sejarah selalu membongkarnya. Batunya bisa lenyap, tetapi gajah tidak mungkin selamanya bersembunyi.
Pertanyaan yang tersisa bagi kita adalah apakah berani menunjuk gajah itu, atau terus sibuk mencari batu yang sudah lama hilang.***