JAKARTA, PUBLISIA.ID – Polemik terkait harga minyak goreng rakyat atau MinyaKita yang sering tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yaitu Rp15.700 per liter, membuat Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) angkat bicara.
Menyikapi masalah ini, GIMNI kemudian merekomendasikan agar penyaluran MinyaKita didistribusikan langsung oleh Bulog, ID FOOD maupun PT Pos Indonesia, kepada masyarakat yang kurang mampu.
Pernyataan tersebut langsung disampaikan oleh Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga. Menurutnya, pemerintah bisa menjalankan sesuai dengan mekanisme pasar yang sudah ada, namun dalam jumlah yang terbatas.
“Jadi terkait dengan harga MinyaKita ini, dijalankan sesuai mekanisme pasar saja, tidak perlu diatur-atur, dan kepada masyarakat yang kurang mampu diberikan dana bantuan bentuk Tunai Langsung (BLT), catatan dan nama orang tersedia di per Kecamatan, dan jumlahnya juga terbatas,” kata Sinaga di Jakarta, Minggu (6/7/2025).
Masih dikatakan Sinaga, harga jual MinyaKita ditentukan oleh tiga faktor, pertama oleh harga bahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan biaya angkut ke pabrik pengolahan. Kedua biaya pengolahan dari CPO ke minyak goreng ditambah pengemasan dan yang terakhir biaya distribusi dari produsen sampai ke konsumen.
Namun di sisi lain, Sinaga memberikan gambaran bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan 68 persen pabrik minyak goreng berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera.
“Itu artinya, dengan kondisi tersebut, mengatur ulang skema distribusi tidak akan berpengaruh besar terhadap harga MinyaKita,” ujarnya.
MinyaKita merupakan sebuah strategi dalam menjaga stabilitas harga minyak goreng dan pengendalian inflasi, yang ditujukan bagi masyarakat kecil dengan HET yang sudah ditentukan.
Sinaga memberikan contoh, di negara lain, pemerintahnya cukup menyampaikan harga minyak goreng yang disalurkan melalui pasar tradisional serta jumlah potongan harga per liternya.
Toko penjual atau pengecer mencatat harga jual ke pembeli, dengan disertai bukti penjualan. Selisih harga yang dijual kepada masyarakat kecil, bisa langsung ditagihkan ke pada pemerintah. Dengan demikian, polemik harga minyak goreng untuk rakyat minim terjadi.
“Jadi sistem yang selama ini berjalan melalui Simirah, hanya mencatat alur fisik dari produsen, pengecer dan konsumen. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan sistem yang baik dan tercatat melalui sistem distribusi yang terpercaya,” tegasnya.
Sinaga melanjutkan, bahwa sumber pendanaan untuk pembayaran tersebut bisa diambil dari Dana Potongan Ekspor Minyak Sawit yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
“Ada jalan sederhana, beli MinyaKita dari produsen minyak goreng dengan harga pasar, mereka salurkan ke masyarakat tertentu (kurang mampu), melalui PT. POS, dan selisih harga beli dari produsen dengan harga jual ke konsumen tertentu ditutup atau lunasi dari BPDP,” jelas Sinaga. (Ant/Red)