Oleh: Dr. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Neil Postman, seorang kritikus pendidikan dari Amerika, pernah menulis buku The End of Education yang dalam bahasa Indonesia bisa kita pahami sebagai Matinya Pendidikan.
Ia menyatakan bahwa sekolah modern kehilangan “cerita besar” yang mampu memberi makna bagi murid. Sekolah hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi gagal menjawab pertanyaan penting: untuk apa kita belajar?
Pandangan ini relevan dengan kondisi pendidikan kita hari ini. Sekolah sering terjebak pada rutinitas administratif, target ujian, dan sekadar persiapan kerja. Padahal, pendidikan mestinya menghidupkan imajinasi, menanamkan nilai, dan membentuk peradaban.
Kasunyatan: Warisan Sejarah Banten
Jika kita menoleh ke masa lalu, masyarakat Banten memiliki warisan pendidikan berbasis budaya dan spiritual yang disebut Kasunyatan. Kasunyatan bukan sekadar pesantren atau sekolah, tetapi sebuah ekosistem belajar yang menyatukan agama, kebudayaan, dan kehidupan sosial.
Di Kasunyatan, anak-anak belajar membaca Al-Qur’an, mendalami ilmu agama, sekaligus ditempa dengan nilai kepemimpinan, kesetiaan, dan pengabdian pada masyarakat. Guru atau kiai bukan hanya pengajar, melainkan teladan hidup yang memberi arah. Pendidikan Kasunyatan tidak pernah tercerabut dari “cerita besar” tentang iman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Menghidupkan Kembali Semangat Kasunyatan
Membaca Postman dan menengok Kasunyatan, kita bisa menarik pelajaran: pendidikan Indonesia butuh “ruh” yang menghidupkan, bukan sekadar sistem yang mekanis.
Ada beberapa langkah yang bisa kita refleksikan:
- Mengembalikan Narasi Besar Pendidikan
Pancasila, agama, dan kearifan lokal bisa menjadi sumber makna. Sekolah harus menanamkan rasa kebangsaan, kepedulian lingkungan, dan solidaritas sosial—bukan hanya melatih anak menjadi pekerja pasar global. - Guru sebagai Teladan, Bukan Sekadar Pengajar
Di Kasunyatan, guru hidup bersama murid dalam satu komunitas belajar. Di era kini, kita perlu menghadirkan kembali figur guru yang menginspirasi, bukan hanya memberi materi. - Belajar yang Terhubung dengan Kehidupan Nyata
Pendidikan Kasunyatan tidak lepas dari sawah, pasar, masjid, dan rumah masyarakat. Demikian pula hari ini, sekolah harus membuka diri pada realitas sosial—mengajak siswa menanam, berdiskusi, meneliti, dan beraksi di tengah masyarakat. - Menyeimbangkan Teknologi dan Humanitas
Postman mengingatkan, teknologi hanyalah alat. Semangat Kasunyatan menegaskan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Teknologi boleh digunakan, tetapi jangan sampai mengaburkan nilai kemanusiaan.
Penutup
Ketika Postman menyebut “matinya pendidikan”, ia sebenarnya sedang memanggil kita untuk mencari makna baru. Di Banten, kita punya warisan Kasunyatan yang dapat menjadi sumber inspirasi. Menghidupkan kembali semangat Kasunyatan berarti menyalakan kembali api pendidikan yang berakar pada nilai, budaya, dan iman—sebuah pendidikan yang tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga membentuk manusia yang merdeka dan bermartabat.***