Home / Opini

Jumat, 17 Oktober 2025 - 13:26 WIB

Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga Tak Bisa Dipidana (Belajar Hukum Pidana dalam 5 menit)

Oleh H. Ferry Fathurokhman S.H., M.H, Ph.D

Dosen FH Untirta, Penulis, dan Pemerhati Hukum

Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak mendadak viral karena kepala sekolahnya menegakan tugasnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru juga didesain oleh negara untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kesemua tugas guru tersebut dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Sebelumnya berdasarkan tulisan Dr H Fadlullah      kisruh bermula dari tindakan disiplin pihak sekolah terhadap siswa yang melanggar aturan, namun langkah pembinaan itu justru berbalik menjadi gelombang penolakan. Sejak itu beritanya menjadi viral, sejumlah 630 siswa mogok sekolah selama 2 hari.

Berdasarkan pemberitaan, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga tersebut kemudian dinon-aktifkan dan kini sudah diaktifkan kembali. Kepala sekolah dan murid yang viral tersebut juga sudah dipertemukan Gubernur Banten dan keduanya saling memaafkan. Gubernur berhasil mengambil langkah responsif menyelesaikan persoalan ini. Saat peristiwa itu terjadi dan memanas, kepala sekolah tersebut sempat dilaporkan ke pihak kepolisian.

Meskipun kini laporan tersebut telah ditarik, tetapi sebenarnya kategori delik tersebut adalah delik biasa (gewondelicten), bukan delik aduan (klachtdelicten) yang dapat menghentikan perkara dengan ditariknya pengaduan. Maka sebagai pelajaran berharga, tulisan ini akan mengupas hal tersebut, bagaimana hukum pidana memandang peristiwa hukum seperti ini? Tulisan ini dirancang untuk menjelaskan dari sisi hukum pidana.

Dalam hukum pidana, syarat seseorang dapat dipidana itu ada tiga: pertama terpenuhinya unsur perbuatan pidana (actus reus); kedua adanya niat jahat (mens rea) yang dilihat dari kesalahan (schuld) yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa); ketiga tidak ada dasar penghapusan pidana (strafuitsluitingsgronden) yang dapat berupa alasan pembenar (fait justificatif) atau pun alasan pemaaf (schulduitsluittingsgrond/fait d’excuse).

Baca Juga  Prof FAY Sorot Banyak Siswa SMP Belum Bisa Membaca, Indonesia Emas Bisa Jadi Cemas

Tentu saja ada beberapa kemungkinan pasal abstrak dalam ketentuan pidana berkaitan dengan peristiwa konkret yang terjadi di SMAN 1 Cimarga. Namun dengan sangat umum peristiwa tersebut akan dikategorikan sebagai penganiayaan. Dalam KUHP lama yang masih berlaku tindak pidana penganiayaan dirumuskan dalam Pasal 351, sementara dalam KUHP baru yang pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang akan berlaku diatur dalam Pasal 466.

Nah, sekarang kita periksa satu per satu syarat dapat dipidananya seseorang, sebagaimana kriteria di atas. Pertama actus reus, perbuatan penganiayaan tidak didefinisikan secara baku, dalam hal ini terjadi penamparaan. Kalau penamparan itu terjadi dalam konteks mendidik dan tidak membahayakan anak, misalnya dilakukan berlebihan hingga menimbulkan luka-luka bahkan luka berat, maka perbuatannya tetap terpenuhi. Tapi pemenuhan actus reus tidak serta merta langsung dapat memidana seseorang, harus dilihat syarat kedua berikutnya yakni mens rea, niat batinnya, apakah ada niat jahat dalam perbuatan tersebut?

Tidak mudah mengukur niat seseorang, dalam hukum pidana niat jahat seseorang baru dapat diukur setelah mewujud dalam tulisan, lisan atau pun perbuatan, yang kemudian diderivasi menjadi kesalahan yang dapat berupa kesengajaan atau kelalaian. Pada perkara Cimarga, benar terjadi kesengajaan dalam penamparan tetapi ditujukan untuk mendidik, maka niat batin jahatnya tidak terpenuhi. Berbeda jika kemudian perbuatan tersebut menimbulkan luka-luka atau pun luka berat.

Saya beri ilustrasi mudah dalam memahami persoalan ini. Jika si A menampar B karena ada nyamuk di pipinya, maka perbuatan menamparnya terpenuhi, tapi niat jahat penganiayaannya tidak terpenuhi, karena perbuatannya ditujukan untuk mematikan nyamuk yang menempel pada pipi si B, terlebih jika B dapat membuktikan ada nyamuk yang mati terbunuh. Untuk mematikan nyamuk tersebut maka gerakan tangannya harus cepat sebab kalau lambat nyamuknya akan terbang. Yang repot kalau sudah menampar tetapi nyamuknya tidak kena, maka akan sulit membuktikan bahwa si A sebenarnya berniat mematikan nyamuk, sebab dalam hukum pidana dipedomani asas in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores (dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya).

Baca Juga  PWI Banten Jalin Silaturahmi dengan Grup 1 Kopassus: Perkuat Sinergi untuk Persatuan dan Informasi Bangsa

Sampai sini sebetulnya sudah dapat dicukupkan dan disimpulkan bahwa perkara Cimarga tidak dapat dipidana karena niat batin jahatnya tidak terpenuhi. Tetapi kita teruskan pada syarat yang ketiga yakni alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond). Apa yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga merupakan bagian dari pendidikan yang dibebankan kepadanya dalam rangka menjalankan Undang-Undang Guru dan Dosen sebagaimana dikutip dalam awal tulisan. Menjalankan undang-undang merupakan fait justificatif (alasan pembenar) yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam KUHP lama—yang masih berlaku hingga tanggal 1 Januari 2026—alasan pembenar melaksanakan ketentuan undang-undang diatur dalam Pasal 50, dalam KUHP baru—yang akan berlaku tanggal 2 Januari 2026—diatur dalam Pasal 31.

Dengan demikian jelas bahwa Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga tidak dapat dipidana. Perkara kajian hukum pidana pada umumnya mudah, tapi terkadang juga susah bergantung pada kerumitan perkara. Sebagai contoh, dalam hukum pidana bahkan kecepatan tangan menentukan terjadi peristiwa pidana atau tidak. Misalnya dalam konteks suami-istri, kalau gerakan tangannya lambat (slow motion) maka terkategori membelai, bukan tindak pidana. Tapi kalau gerakan tangan si suami dipercepat maka terkategori menampar dan oleh karenannya merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Demikian rumitnya hukum pidana, harus dilihat tiap perkaranya, bahkan jika membelai pun sebagaimana dicontohkan, bisa saja menjadi tindak pidana kalau simulasi perkaranya diubah, membelai istri orang lain misalnya, jelas tindak pidana.  

Epilog

Ini kisah mahsyur, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom pada Perang Dunia ke-II, Kaisar Hirohito bertanya berapa jumlah guru yang selamat, berapa jumlah guru tersisa. Ia tak menanyakan jumlah pasukan tempur, karena Ia akan membangun peradaban Jepang. Guru adalah benteng moral, pembangun peradaban. Maka, 630 adik-adik, anak-anakku di SMAN 1 Cimarga, jika tulisan ini sampai kepadamu, carilah waktu untuk berkontemplasi, datangilah kepala sekolahmu, minta maaf dan berterima kasihlah padanya, karena masih ada guru seperti kepala sekolahmu. SMAN 1 Cimarga telah viral nasional, jika kita bisa menyikapinya dengan baik dan benar, saya percaya, peradaban Indonesia bisa dimulai dari SMAN 1 Cimarga. (*)       

Share :

Baca Juga

Opini

Bukan Soal Indra dan Andra: Perbaiki Sekolah

Opini

Kehadiran Negara dalam Pesantren (Refleksi Menjaleng Hari Santri 22 Oktober)

Opini

Cimarga: Lonceng Runtuhnya Moral Sekolah

Opini

Penguatan Mustanir dan Mustamir Masjid

Opini

Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Opini

Belajar Tanpa Tembok: Dari Diskusi Ke Kolaborasi Aksi

Opini

Tragedi Utsman: Kerja Politik Belah Bambu dan Politisasi Agama

Opini

Oase Moral yang Mengering