Oleh: H. Wasit Aulawi
Kasubag TU Kemenag Kab Serang
Tahun ini, peringatan Hari Santri Nasional terasa sedikit berbeda. Bukan hanya karena gegap gempita perayaan atau simbol-simbol seremonial di ruang publik, tapi karena munculnya sebuah tayangan di Trans7 yang sempat bikin publik gaduh.
Dalam salah satu segmennya, program tersebut menampilkan adegan yang dianggap memprovokasi dan menistakan hubungan santri dengan kiainya. Bagi sebagian orang, mungkin itu sekadar hiburan ringan, tapi bagi dunia pesantren, itu seperti menampar wajah tradisi yang selama berabad-abad dijaga dengan adab dan rasa hormat.
Tayangan itu langsung menuai kecaman luas, hingga akhirnya Trans7 meminta maaf dan melakukan klarifikasi. Tapi luka kultural yang ditinggalkan tak serta-merta hilang begitu saja—karena yang dipermainkan bukan sekadar citra, melainkan nilai.
Kasus itu membuka mata kita bahwa masih banyak orang yang belum benar-benar paham cara dunia pesantren bekerja. Banyak yang mengira hubungan santri dan kiai itu semacam hubungan murid dan guru biasa—transaksional, formal, sekadar transfer ilmu.
Padahal, di balik setiap sujud, setiap cium tangan, setiap malam panjang di serambi pesantren, ada ikatan spiritual dan batin yang nggak bisa dijelaskan dengan logika akademik.
Kiai bagi santri bukan hanya “pengajar”, tapi sumber barakah, mursyid ruhani, dan penjaga tradisi keilmuan. Dan di sanalah letak perbedaan paling mendasar: relasi ini bukan tentang hierarki kekuasaan, tapi tentang pengabdian, cinta, dan adab—hal yang sering tak terbaca oleh kamera televisi atau algoritma media sosial.
Namun, drama ini sebenarnya lebih dari sekadar kasus media. Ia mencerminkan kesenjangan kultural antara pesantren dan dunia modern yang sering memaksa segala hal untuk tampil “viral”, bahkan dengan mengorbankan makna.
Di tengah euforia digital, santri sering kali dipersepsikan keliru: dianggap kolot, tertutup, bahkan ketinggalan zaman. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat—dari resolusi jihad hingga perjuangan kemerdekaan—santrilah yang berdiri di barisan depan.
Mereka bukan cuma pendoa di surau, tapi juga pejuang, pendidik, dan penggerak sosial. Ironisnya, narasi itu makin kabur karena dunia modern lebih sibuk mencari “sensasi” ketimbang substansi.
Dan di sinilah pentingnya momen Hari Santri Nasional: bukan sekadar tanggal merah di kalender, tapi momentum untuk reboot kesadaran kolektif tentang siapa santri sebenarnya.
Santri hari ini hidup di era yang serba cepat, di mana tantangannya bukan lagi kolonialisme fisik, tapi kolonialisme digital—yang menguji ketahanan akhlak, identitas, dan idealisme. Tapi di balik semua itu, ada harapan besar: bahwa generasi santri zaman now bisa tampil sebagai jembatan antara nilai dan inovasi, antara adab dan teknologi, antara masa lalu yang penuh berkah dan masa depan yang penuh peluang.
Karena pada akhirnya, menjadi santri di zaman ini bukan sekadar belajar kitab, tapi menjaga nur adab di tengah badai zaman.
Tantangan
Di tengah gelombang besar digitalisasi, dunia pesantren seolah berdiri di persimpangan antara mempertahankan tradisi dan menyesuaikan diri dengan zaman. Ketika publik kini telah beralih ke e-book, podcast, dan video kajian digital, para santri masih setia menua tinta di atas lembaran-lembaran kertas kuning—lembar yang aromanya khas, yang menjadi saksi perjalanan intelektual di bawah cahaya redup lampu malam.
Bagi mereka, tinta yang menghitam di atas kertas bukan sekadar simbol belajar, tapi juga bentuk pengabdian, riyadhah intelektual yang menuntut kesabaran. Namun kesetiaan itu kini menjadi tantangan: bagaimana menjaga ruh keilmuan tradisional di tengah dunia yang semakin instan, tanpa kehilangan relevansi dan daya saing di ruang publik digital?
Sementara masyarakat luas mencari ilmu agama secara cepat melalui cuplikan ceramah di media sosial atau bahkan menggunakan AI untuk bertanya tentang hukum syariat, para santri masih menelaah kitab demi kitab dengan disiplin.
Mereka memahami bahwa ilmu agama bukan sekadar kumpulan jawaban, melainkan hasil dari proses panjang yang mengasah nalar dan hati. Tapi justru di situ letak ujian terbesarnya: kesabaran santri kini diuji oleh kebiasaan zaman yang ingin serba cepat.
Di era scroll dan swipe, tradisi ngaji sorogan terasa seperti “loading lama.” Namun tanpa proses itu, pemahaman terhadap agama bisa dangkal, kehilangan kedalaman makna, dan mudah terjebak pada tafsir yang serampangan. Tantangannya adalah bagaimana santri bisa tetap sabar di tengah dunia yang gemar memotong proses.
Selain soal metode belajar, tantangan lain yang lebih halus tapi serius adalah keterisolasian teknologi di lingkungan pesantren. Banyak pesantren masih gagap digital, bukan karena menolak teknologi, tetapi karena ingin menjaga kesucian ruang belajar dari distraksi dunia maya.
Sikap hati-hati ini kadang berbalik arah—membuat pesantren terkesan tertutup dan lambat beradaptasi. Padahal, di era ini, literasi digital menjadi bagian penting dari dakwah dan transformasi sosial. Santri harus mampu menjadi digital preacher yang bisa menghadirkan Islam rahmatan lil ‘alamin di ruang virtual, bukan hanya di mimbar masjid. Jika tidak, ruang digital akan terus dikuasai oleh narasi-narasi keagamaan yang kaku, provokatif, dan tidak mewakili wajah pesantren yang santun dan moderat.
Tantangan berikutnya datang dari dunia kerja dan ekonomi modern. Setelah lulus, banyak santri menghadapi realitas yang tidak mudah: ijazah pesantren sering kali tidak diakui di dunia industri, keterampilan digital minim, dan akses terhadap dunia profesional masih terbatas. Padahal, nilai-nilai yang mereka miliki—disiplin, kejujuran, tanggung jawab, dan integritas—adalah modal utama dalam dunia kerja masa kini.
Tantangan ini menuntut lahirnya ekosistem baru: pesantren yang mampu membekali santrinya dengan life skill dan digital literacy tanpa mengorbankan tradisi. Karena santri bukan hanya calon ulama, tapi juga calon pemimpin, inovator, dan wirausahawan yang harus siap menaklukkan era industri 5.0.
Terakhir, santri juga dihadapkan pada tantangan politik dan identitas. Di satu sisi, mereka adalah penjaga moral bangsa; di sisi lain, mereka sering dijadikan alat legitimasi oleh kelompok politik yang ingin memanfaatkan simbol religius.
Banyak santri muda kini mulai sadar, bahwa menjadi bagian dari politik bukan dosa, tapi justru tanggung jawab moral untuk menjaga arah kebangsaan. Namun tetap saja, dunia politik modern yang sarat intrik dan kepentingan sering kali berseberangan dengan kesederhanaan jiwa pesantren.
Maka, tantangan terbesar bagi santri adalah bagaimana tetap berpolitik tanpa kehilangan adab, berperan di publik tanpa kehilangan ruh khidmah. Karena sejatinya, politik santri bukan tentang perebutan kuasa, tetapi tentang memperjuangkan nilai—nilai yang diajarkan di serambi pesantren, di bawah bimbingan sang kiai, dengan hati yang tetap tunduk kepada Allah.
Harapan
Jika tantangan terbesar santri di era digital adalah mempertahankan ruh keilmuan di tengah arus modernisasi, maka harapan utamanya adalah memastikan bahwa tradisi dan budaya keislaman pesantren tetap dirawat oleh bangsa ini, bukan hanya oleh para santri sendiri.
Apa yang mereka jaga di ruang-ruang sunyi pondok—adab, kesabaran, dan ketekunan ilmiah—seharusnya juga dijaga oleh masyarakat dan difasilitasi oleh negara. Undang-Undang Pesantren yang telah disahkan adalah langkah maju, tetapi implementasinya masih perlu pengawalan serius agar tidak berhenti di level simbolik.
Begitu pula, Peraturan Daerah (Perda) tentang Pesantren di berbagai wilayah semestinya tidak sekadar menjadi kebijakan administratif, melainkan bentuk nyata penghormatan terhadap ekosistem pendidikan khas Indonesia yang telah membentuk watak kebangsaan selama berabad-abad.
Dari semangat menjaga tradisi inilah muncul harapan berikutnya: bahwa pesantren mendapat dukungan penuh dalam hal sarana dan prasarana. Di tengah dunia yang semakin digital, akses terhadap teknologi, literasi digital, serta ruang belajar yang representatif menjadi kebutuhan pokok.
Santri yang menulis di atas kertas kuning tidak berarti anti-teknologi, mereka hanya belum sepenuhnya difasilitasi. Maka menjadi tanggung jawab moral pemerintah, masyarakat, dan lembaga swasta untuk membuka akses digitalisasi pesantren, menyediakan jaringan internet yang stabil, perangkat belajar yang layak, dan pelatihan teknologi agar pesantren tak lagi berada di pinggiran inovasi. Karena jika teknologi dikuasai oleh orang yang beradab, maka ia akan menjadi alat dakwah, bukan senjata disinformasi.
Dari ketersediaan fasilitas, harapan itu meluas ke pembaruan metode pembelajaran dan literasi digital santri. Jika sebelumnya santri dihadapkan pada tantangan instanisme dan budaya “cepat tahu tanpa belajar”, maka kini saatnya mereka didukung untuk menyeimbangkan dua dunia: tradisi kitab kuning dan dunia digital yang dinamis.
Bayangkan santri yang bukan hanya bisa membaca Fath al-Qarib, tetapi juga mampu menulis tafsirnya dalam bentuk e-book, memproduksi konten dakwah edukatif di media sosial, atau bahkan mengembangkan aplikasi fiqih berbasis AI. Inilah wajah baru santri masa depan: tidak meninggalkan warisan keilmuan klasik, tetapi menyalurkan barakah itu melalui medium yang bisa dijangkau oleh generasi digital.
Harapan ini bukan utopia—ia adalah keniscayaan jika pesantren mau membuka diri tanpa kehilangan jati diri.
Berangkat dari realitas dunia kerja yang semakin kompetitif, harapan lain adalah terbentuknya ekosistem pesantren yang produktif dan mandiri secara ekonomi.
Santri harus diberi ruang untuk berkreasi, berwirausaha, dan mengembangkan potensi lokal melalui pesantren. Pendidikan kewirausahaan, digital marketing, dan ekonomi kreatif bisa menjadi bagian dari kurikulum pesantren, tanpa mengurangi waktu untuk ngaji kitab. Pesantren yang berdaya ekonomi bukan hanya menjaga kemandirian lembaga, tetapi juga memberi inspirasi bahwa keberkahan ilmu bisa berjalan seiring dengan kemakmuran sosial.
Dengan begitu, pesantren tidak lagi dipandang sebagai institusi tradisional semata, melainkan sebagai pusat peradaban yang menyinergikan spiritualitas dan produktivitas.
Dan pada akhirnya, harapan paling besar adalah bahwa santri dapat mengambil peran aktif dalam panggung sosial dan politik tanpa kehilangan adabnya.
Jika sebelumnya politik menjadi tantangan karena penuh intrik dan kepentingan, maka harapan kini adalah lahirnya generasi santri yang berani tampil di ruang publik dengan wajah moral, bukan sekadar ambisi. Santri tidak boleh terus berada di pinggiran sejarah—mereka harus menjadi bagian dari arus perubahan dengan membawa nilai-nilai hikmah, tawadhu’, dan kejujuran.
Dunia menanti politisi yang berjiwa santri: jujur tanpa pamrih, kuat tanpa congkak, dan tegas tanpa benci. Karena kelak, di tangan merekalah masa depan bangsa ini ditentukan—bangsa yang tak hanya cerdas secara digital, tapi juga beradab secara spiritual.**