OLEH DR. FADLULLAH, S.AG., M.Si.
Dekan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tulisan ini merupakan dukungan terhadap upaya pemerintah Kota Serang merevitalisasi Cibanten dalam menghadapi tantangan: sedimentasi, limbah rumah tangga, dan penurunan kualitas air.
Di sisi lain perlu perbaikan perilaku warga dengan menghidupkan kembali kesadaran ekoteologis. Mengembalikan posisi sungai sebagai guru kehidupan—tempat kita belajar tentang keseimbangan, kebermanfaatan, dan keikhlasan memberi, sebagaimana air yang terus mengalir tanpa meminta kembali.
Di tengah krisis lingkungan yang kian terasa, pendekatan ekoteologi menawarkan jalan tengah antara iman dan tindakan ekologis. Ekoteologi adalah cara pandang yang menggabungkan kesadaran lingkungan dengan nilai-nilai spiritual dan keagamaan.
Dalam ajaran Islam, alam semesta adalah ayat-ayat Tuhan (ayat kauniyah) yang harus dipahami, direnungi, dan dijaga. Manusia bukan penguasa absolut, melainkan khalifah yang bertugas merawat bumi (QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-A’raf: 56).
Konsep ini bukanlah teori asing bagi masyarakat Banten. Ia hidup dan mengalir sejak lama—sebagaimana mengalirnya Sungai Cibanten, yang berhulu di Gunung Karang dan bermuara di kawasan sejarah Surosowan, bekas pusat Kesultanan Banten.
Cibanten: Sungai yang Menyimpan Spiritualitas
Sungai Cibanten bukan sekadar aliran air. Ia adalah urat nadi peradaban. Dari girang (hulu) di pegunungan hingga ke hilir, Cibanten mengairi sawah, menghidupi warga, menjadi tempat bersuci, dan mengalir melewati situs-situs suci seperti Masjid Agung Banten dan Makam Sultan Maulana Hasanuddin.
Dalam kosmologi masyarakat Islam Banten, sungai adalah jalan keberkahan. Airnya diyakini membawa rahmat. Oleh karena itu, mencemari sungai berarti mencemari berkah dan merusak hubungan dengan alam dan Tuhan.
Uniknya, di sepanjang aliran Cibanten, tumbuh bambu, kelapa, dan pisang—tiga pohon tropis yang sarat makna ekologis dan spiritual.
Bambu tumbuh berumpun dan lentur. Ia melambangkan ketahanan, kesatuan, dan kesederhanaan. Akar bambu juga menahan erosi, menjaga tanah dari longsor.
Kelapa adalah pohon seribu guna. Dari akar hingga daunnya bisa dimanfaatkan. Ia adalah simbol kebermanfaatan dan tauhid: satu pohon, banyak fungsi.
Pisang bukan sekadar buah tropis, tapi buah surga (Al-Waqi’ah: 29). Dalam tradisi Banten, pisang digunakan dalam ritual kelahiran, kenduri, dan kematian. Ia tumbuh cepat dan memberi tanpa banyak syarat.
Ketiganya tidak hanya menopang kehidupan, tetapi juga menyampaikan pesan: bahwa alam bukan benda mati, melainkan makhluk hidup yang berdzikir kepada Tuhan, dan karenanya layak dihormati.
Penutup
Ekoteologi mengajarkan bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban sosial atau agenda pembangunan, melainkan ibadah. Sungai yang bersih, pohon yang lestari, dan tanah yang subur adalah cermin dari manusia yang beriman.
Cibanten mengajarkan kita bahwa iman tidak hanya dibuktikan di masjid, tetapi juga di pinggir sungai—dalam cara kita memperlakukan air, pohon, dan tanah. Dalam kerangka ekoteologi, merawat Sungai Cibanten adalah merawat iman, sejarah, dan masa depan. Mari jaga Cibanten, agar generasi setelah kita masih bisa membaca ayat-ayat Allah yang mengalir di antara bambu, kelapa, dan pisang. Wallahu a’lam.**