Home / Opini

Minggu, 14 Desember 2025 - 06:29 WIB

Dilema, Tantangan dan Solusi Tangsel Hadapi Darurat Sampah: Gerakan Wujudkan Kota Tanpa Sampah

Ketua LSM RI Banten Syarifudin.

Ketua LSM RI Banten Syarifudin.

Oleh: H Syarifudin, SH.
Ketua LSM RI Provinsi Banten

Kemelut sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sepekan tidak terangkut menjelma menjadi lautan sampah seperti diwartakan Metrotvnews, 12 Desember 2025.. Lautan sampah di mana-mana, estetika kota terganggu, warga resah, investasi terancam, dan kesehatan warga menjadi terganggu.

Raut marah, sedih dan putus asa mulai tampak dari masyarakat setempat. Mereka bingung  kemana harus mengadu dan berteriak menyuarakan keputusasaan masalah sampah ini.

Bahkan sempat terjadi saling tuding antar warga masyarakat dan pemerintah. Bagaimana masalah sampah ini dapat teratasi? Bagaimana keluar dari masalah ini sementara dari waktu ke waktu sampah tetap menjadi problem keseharian yang tidak kunjung terpecahkan.

Masalah sampah di Kota Tangsel  sudah mencapai titik darurat yang memprihatinkan . Hal itu menunjukkan tata kelola persampahan yang buruk, ditambah indikasi dugaan korupsi dalam pengelolaan anggaran persampahan tahun 2024 senilai Rp75,9 miliar, menunjukkan kegagalan sistemik dalam manajemen sampah. Tidak adanya perencanaan yang matang  membuat persoalan ini meledak.

Prihatin belakangan ini sudah tidak ada lagi bak sampah, setiap ruang yang ada dari mulai halaman rumah, kantor, toko sampai trotoar dan median jalan menjelma menjadi tempat pembuangan sampah.

Kemarahan masyarakat mencapai puncak. Mereka sudah tidak peduli lagi sampah yang dibuang dapat mengganggu orang lain atau tidak. Yang penting sampah sudah dibuang dari rumah masing-masing.

Alhasil lautan sampah meledak di Kota Tangsel karena tiap hari berton ton sampah makin menjadi-jadi di berbagai titik jalan arteri. Hal itu dapat menimbulkan kerawanan sosial, ekonomi yang akan berdampak masalah besar di Tangsel bila tidak segera ditangani.

Kota Tangsel sebenarnya sudah memiliki aturan jelas tentang sampah yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah yang kemudian diubah menjadi Perda No. 13 Tahun 2019. Fokusnya pada pengelolaan terpadu, pemilahan, insentif/disinsentif, peran masyarakat, sanksi, serta mengatur larangan membuang sampah sembarangan, dan membakar sampah.

Lalu ada pula aturan turunannya seperti Perwal terkait pengurangan sampah plastik, serta Perda Retribusi No. 7 Tahun 2018 yang mengatur biaya layanan sampah. Namun tetap saja peraturan-peraturan tersebut belum mampu mengatasi permasalahan sampah. Kita khawatir apabila masalah sampah ini salah mengatasi, maka dampak sosial lanjutannya semakin krusial.

Baca Juga  PT Asahimas Chemical Dukung Pencegahan Stunting dan Pengentasan BABS di Cilegon

Banyak pihak sepertinya tidak berpikir jika masalah sampah ini suatu saat akan menjadi sumber masalah lain bagi masyarakat. Di sini pernahkah terpikirkan oleh kita semua jika masalah sampah ini akan menjadi akar permasalahan sesama warga masyarakat untuk bertikai? Atau menjadi sumber kejahatan tindak pidana lainnya? Sungguh miris apabila hal yang dikhawatirkan seperti ini benar-benar terjadi.

Di tengah dilema mengatasi masalah sampah ini karena sampah setiap saat hadir maka diperlukan langkah konkret untuk menyelesaikannya.

Kritik terhadap peraturan tentang pengelolaan sampah pertama di sini kita harus sepakati dahulu bahwa sampah adalah benda sampingan dari produk inti yang dikonsumsi yang akhirnya menimbulkan biaya dan oleh karenanya di dalam Perwal no. 7 tahun 2018 disebutkan besaran biaya layanan sampah.

Tanpa bermaksud mengkritisi bahwa sampah juga merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tangsel, namun pada kenyataannya biaya layanan sampah yang disediakan ternyata belum mampu mengatasi masalah sampah itu sendiri. Artinya percuma masyarakat membayar biaya layanan sampah apabila hasilnya masih nihil dan mengecewakan.

Maka dari itulah bercermin dari peraturan-peraturan yang ada kita dapat melihat bahwa peraturan-peraturan tersebut belum memberikan solusi apa pun terhadap penanganan sampah. Padahal sudah diatur bagaimana mengelola sampah oleh pemerintah maupun pelibatan partisipasi masyarakat namun hasilnya sekali lagi masih belum ada.

Kami menilai bahwa peraturan-peraturan tersebut gagal untuk diaplikasikan, direalisasikan dan dilaksanakan. Perlu diingat kami melihat akar permasalahannya hanya sederhana yaitu dari penggunaan kata-kata sampah itu sendiri yang secara psikologis tertanam di benak masyarakat sebagai benda yang tidak terpakai dan harus dibuang.

Masyarakat tidak peduli harus dipilah atau tidak. Sampah adalah sampah dan harus dibuang. Jika demikian yang terjadi maka sampai kapanpun masalah sampah tidak akan pernah teratasi dengan baik.

Baca Juga  Inovasi Kelembagaan dan Organisasi Bawaslu Sebagai Penjaga Integritas Elektoral

Solusi Kongkret
Di sini kami menyarankan bagaimana jika kata sampah jangan kita gunakan lagi. Susunlah Peraturan Walikota (Perwal) “Larangan membuat tempat sampah dan membuang sampah”, buatlah fasilitas sebanyak-banyaknya hingga di tingkat grassrot, dengan kata-kata “Tempat simpan bahan baku organik dan bahan baku non organik”.

Apa maksud dari peraturan ini: masyarakat tidak punya pilihan tempat membuang sampah; masyarakat terpaksa memilah bahan baku organik dan non organik untuk disimpan di tempat simpan bahan baku; masyarakat mudah disanksi apabila membuang sampah kecuali dalam keadaan sudah terpilah. Mengurangi biaya penanganan sampah.

Jika di tengah masyarakat sudah tidak ada tempat sampah maka masyarakat akan terbawa ke dalam aturan ini sebagaimana yang diinginkan. Mengelola sampah jadi mudah karena masyarakat akan membuang sampah sudah tidak ada lagi tempat sampah.

Masyarakat diarahkan mulai dari rumah hanya membuang secara terpisah bahan baku organik dan bahan baku non organik. Jika belum terpilah maka langsung mendapat sanksi sesuai aturan secara konsisten dan teknis pelayanan polisi sampah, (zaman orde baru ada tibum).

Pemerintah sebagai pengelola sampah juga akan dimudahkan karena tinggal mengolah bahan baku organik dan non organik yang sudah terpilah. Nilai ekonomisnya ada dan tinggal kita tawarkan teknologi pengolahan bahan baku tersebut.

Solusi ini bukan solusi bank sampah, ini adalah konsep menanamkan budaya dan keterpaksaan masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi tempat buang sampah di lingkungannya, kecuali memilah dan menyimpannya di tempat simpan bahan baku organik dan bahan baku non organik untuk diolah lebih lanjut.

Bagaimana sampah dapat teratasi kita mulai dari menghilangkan kata sampah terlebih dahulu. Jika hal ini sudah tertanam dengan baik maka bukan hal yang mustahil Kota Tangsel menjadi bersih, nyaman, asri dan sehat dapat terwujud.

Maka dari itu pentingnya kesadaran dan tanggung jawab hak dan kewajiban antar pihak dengan baik yang diregulasikan secara cerdas dan tegas.**

Share :

Baca Juga

Opini

Mencari Jiwa Hukum Indonesia: Refleksi Filosofis antara Akal, Nilai, dan Ketuhanan

Opini

Alam Terkembang jadi Guru

Opini

Ruhul Jadid dalam R&D Bidang Pendidikan

Opini

Guru Penjaga Moral Bangsa

Opini

Guruku, Terima Kasih

Opini

Inovasi FKIP Untirta 2025: Dari Pedagogi Pancasila hingga School Partnership Model

Opini

Wahai Santri SDQ Amirul Mukminin Jadilah Bright Star!

Opini

Inovasi Kelembagaan dan Organisasi Bawaslu Sebagai Penjaga Integritas Elektoral