Home / Opini

Selasa, 14 Oktober 2025 - 23:13 WIB

Cimarga: Lonceng Runtuhnya Moral Sekolah

Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dosen, penulis, dan pemerhati pendidikan.

SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Jumat 10 Oktober 2025 mendadak menjadi cermin buram wajah pendidikan kita.

Sekolah yang seharusnya menjadi taman ilmu berubah menjadi arena konflik terbuka. Siswa mogok belajar, sebagian terekam merokok di lingkungan sekolah, dan suasana belajar lumpuh total.

Dunia pendidikan kembali tercoreng — bukan oleh kekurangan fasilitas, tetapi oleh runtuhnya wibawa moral di ruang yang seharusnya paling beradab.

Kisruh bermula dari tindakan disiplin pihak sekolah terhadap siswa yang melanggar aturan. Namun langkah pembinaan itu justru berbalik menjadi gelombang penolakan.

Siswa menolak diatur, sebagian orangtua ikut campur membela anak, dan media sosial memperbesar bara menjadi kobaran. Suara bijak tenggelam di tengah sorak pembenaran.

Sekolah, yang seharusnya menjadi rumah dialog dan kebijaksanaan, berubah menjadi ruang sidang tanpa hakim yang adil.

Di tengah kekacauan itu, Kepala Sekolah Dini Fitria menjadi sasaran utama. Ia tengah menegakkan tata tertib, tetapi dituding sebagai biang masalah.

Tekanan publik dan politik datang bertubi-tubi, hingga pemerintah daerah menonaktifkannya. Anggota dewan dan gubernur ikut turun tangan, seolah penyelesaian tercepat adalah pengorbanan kepala sekolah.

Padahal, yang sedang diuji bukan sekadar individu, melainkan prinsip keadilan dan martabat pendidikan.

Wibawa Guru yang Diruntuhkan Kuasa

Kasus Cimarga menguak persoalan besar: runtuhnya otoritas moral pendidik di hadapan kekuasaan sosial dan politik.

Guru dan kepala sekolah kini hidup dalam ketakutan baru. Mereka takut menegur karena takut viral, takut menegakkan disiplin karena takut dianggap kasar.

Baca Juga  Kelas Musyawarah

Dalam iklim seperti ini, guru kehilangan peran pengarah dan hanya tersisa sebagai operator kebijakan.

Padahal pendidikan tidak akan tumbuh tanpa ketegasan. Menegur bukan tindakan represif, tetapi bentuk kasih sayang agar siswa belajar dari batas.

Ketika disiplin dianggap kekerasan dan teguran dianggap penghinaan, pendidikan berubah menjadi panggung kemanjaan. Kita sedang menyaksikan generasi yang menuntut kebebasan tanpa tanggung jawab, sementara orangtua dan masyarakat berdiri di pinggir, lebih sibuk mencari pihak untuk disalahkan.

Sekolah adalah ruang moral publik. Di sana, wibawa guru adalah hukum tak tertulis yang menjaga harmoni. Ketika hukum itu diruntuhkan, maka seluruh tatanan belajar ikut ambruk.

Cimarga bukan kasus tunggal — ia hanyalah salah satu lonceng yang berdentang dari ratusan sekolah lain yang mungkin mengalami hal serupa dalam diam.

Menyoal PGRI dan Perlindungan Guru

Krisis Cimarga juga menyoroti lemahnya perlindungan terhadap guru dan kepala sekolah. Dalam teori, organisasi profesi seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) adalah benteng moral dan hukum bagi pendidik. Namun dalam praktik, banyak guru merasa berjuang sendirian. PGRI sering kali baru bersuara ketika badai sudah terlanjur datang.

Padahal, regulasi sudah ada. Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan menegaskan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja.

Guru juga dilindungi dari ancaman, intimidasi, atau kekerasan saat menjalankan tugas. Namun implementasi aturan ini lemah. Dalam kasus Dini Fitria, seharusnya ada proses klarifikasi yang transparan dan pendampingan hukum yang nyata — bukan keputusan tergesa untuk meredakan opini publik.

Baca Juga  Bendahara Desa Petir Diduga Bawa Kabur Dana Desa, Plt. Kadis Berharap Tidak Terjadi Di Desa Lain

PGRI dan Dinas Pendidikan mestinya berdiri paling depan membela profesionalisme guru. Mereka tidak boleh diam saat wibawa pendidik dihancurkan oleh tekanan politik atau publik. Jika organisasi profesi tidak berani membela anggotanya, maka siapa lagi yang akan menjaga benteng terakhir moral bangsa?

Menghidupkan Kembali Marwah Sekolah

Peristiwa di Cimarga adalah panggilan sadar bagi seluruh bangsa. Pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum dan fasilitas. Ia membutuhkan keberanian moral, perlindungan hukum, dan solidaritas sosial. Sekolah harus kembali menjadi rumah nilai — tempat di mana guru dihormati, siswa dibimbing, dan orangtua dipercaya untuk bersinergi, bukan berkonfrontasi.

Pemerintah harus memastikan perlindungan nyata bagi guru dan kepala sekolah yang menegakkan disiplin dengan niat baik. Masyarakat perlu belajar kembali menghargai profesi pendidik sebagai ujung tombak peradaban. Sementara itu, media harus lebih bijak dalam menyebarkan narasi pendidikan: bukan mengadili, tetapi mendidik publik agar memahami konteks dan kebenaran.

Jika lonceng Cimarga tak diindahkan, kita akan memasuki zaman ketika guru hanya berani mengajar, tetapi tidak berani mendidik. Ketika disiplin dianggap ancaman, dan kebenaran dikalahkan oleh opini. Padahal bangsa besar selalu tumbuh dari ruang kelas yang menghormati gurunya.

Cimarga telah mengingatkan kita — bahwa ketika moral sekolah runtuh, yang roboh bukan hanya bangunannya, melainkan masa depan bangsa itu sendiri.**

Share :

Baca Juga

Opini

Kehadiran Negara dalam Pesantren (Refleksi Menjaleng Hari Santri 22 Oktober)

Opini

Penguatan Mustanir dan Mustamir Masjid

Opini

Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Opini

Belajar Tanpa Tembok: Dari Diskusi Ke Kolaborasi Aksi

Opini

Tragedi Utsman: Kerja Politik Belah Bambu dan Politisasi Agama

Opini

Oase Moral yang Mengering

Opini

Matinya Rasa Kemanusiaan

Opini

Karakter Jawara Guru Peradaban