Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA
Belakangan ini, ada keresahan melihat pendidikan karakter hanya berlangsung lewat tatap layar. Mahasiswa belajar dari gadget, mendengar kuliah daring, dan membaca materi digital tanpa banyak interaksi nyata.
Padahal karakter tidak bisa dibentuk hanya dari kata-kata, melainkan dari perjumpaan: bertemu dosen, berdiskusi dengan teman, dan terjun menghadapi persoalan hidup.
Budaya literasi dan minat beli buku masih perlu diperjuangkan. Padahal, semua paham, bahwa membaca sangat penting, karena ia adalah jendela dunia. Buku memberi kita sejarah, ilmu pengetahuan, dan ide-ide yang membentuk peradaban.
Kita sadari juga, belajar sejati tidak cukup hanya menumpuk buku di kepala. Pikiran kita akan jernih bila bacaan berpadu dengan pengalaman nyata, sehingga apa yang kita pelajari menjadi hidup.
Belajar kritis berarti berani bertanya. Mahasiswa yang sejati bukan hanya pendengar pasif, tetapi penanya aktif. Mereka tidak menelan informasi mentah-mentah, melainkan memeriksa, membandingkan, dan menganalisisnya.
Sikap kritis membuat kita lebih waspada terhadap berita palsu, lebih hati-hati menerima opini, dan lebih adil dalam membuat penilaian.
Namun, kritis saja belum cukup. Mahasiswa juga perlu membangun pengetahuan yang konstruktif. Mereka merangkai potongan fakta, pengalaman, dan teori menjadi pemahaman yang lebih utuh. Seperti menyusun rumah, mereka letakkan pondasi dari bacaan, dinding dari pengalaman, dan atap dari refleksi mendalam.
Belajar transformatif membawa kita pada perubahan nyata. Pengetahuan harus mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Membaca buku tentang kemiskinan tidak berarti jika kita tidak pernah melihat kehidupan kaum miskin. Mengetahui teori tentang ekologi percuma jika kita masih membuang sampah sembarangan.
Karena itu, ruang kelas tidak boleh dibatasi empat dinding. Belajar bisa terjadi di mana saja: di jalan raya yang macet, di gang desa yang lengang, di sawah yang berlumpur, di pasar yang riuh, atau di dermaga nelayan.
Di sana mahasiswa melihat persoalan nyata: petani yang kesulitan pupuk, nelayan yang mengeluh harga solar, sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas, atau warga yang masih harus menghirup asap rokok di ruang publik.
Di titik inilah mahasiswa diajak bergerak. Belajar menjadi pengalaman sosial: mereka menyelami masalah, merumuskan gagasan, menawarkan solusi, dan membangun aliansi strategis.
Mereka berdiskusi dengan warga, berdialog dengan pemangku kebijakan, bahkan berjejaring dengan komunitas dari daerah lain untuk memperkuat daya dorong perubahan.
Gotong royong menjadi kuncinya. Belajar tanpa tembok berarti mahasiswa bersama-sama melewati empat langkah utama: observasi masalah di lapangan (misalnya memetakan titik-titik rawan asap rokok di sekitar kampus), diskusi untuk mencari akar persoalan, aksi untuk mencoba solusi seperti membuat area kampus bebas asap rokok atau kampanye edukasi, dan evaluasi untuk memperbaiki langkah berikutnya.
Dengan pola ini, perkuliahan tidak hanya menjadi hafalan, tetapi latihan hidup yang melatih empati, kepemimpinan, dan daya juang.
Contoh konkret banyak di sekitar kita. Ada kelompok mahasiswa yang menggerakkan gerakan literasi desa dengan mendirikan taman baca dan mendampingi anak-anak setiap sore.
Ada komunitas kampus yang membantu petani menjual hasil panen dengan harga layak. Ada komunitas mahasiswa yang menginisiasi aksi bersih sungai bersama warga.
Bahkan ada program green campus yang dijalankan oleh organisasi mahasiswa: menanam pohon di area kampus, membuat bank sampah, mengurangi plastik sekali pakai, dan mengampanyekan udara bersih tanpa asap rokok. Semua itu adalah wujud belajar transformatif: ilmu yang menggerakkan tangan.
Kini saatnya kita bergerak. Mahasiswa, dosen, dan siapa pun yang peduli pendidikan dapat memulai dengan hal sederhana: membuat proyek sosial, riset aksi berbasis masyarakat, atau gerakan kecil yang melibatkan warga.
Pendidikan karakter hanya akan hidup bila kita menghidupkan interaksi, menumbuhkan empati, dan melatih aksi nyata. Mari kita ubah belajar menjadi gerakan, agar ilmu benar-benar menjadi cahaya bagi bangsa.**