Home / Opini

Selasa, 25 November 2025 - 11:10 WIB

Guru Penjaga Moral Bangsa

Oleh Wasit Aulawi (Wakil Sekretaris PP Pergunu)

Menggugah Martabat Pendidikan: Refleksi Hari Guru

 Di momen Hari Guru, kita digugah untuk tidak sekadar memberi ucapan “terima kasih,” tetapi berpikir lebih dalam tentang betapa besar peran pendidik dalam menjaga masa depan bangsa. Di Indonesia, jumlah guru lebih dari 4 juta orang, tersebar dari tingkat TK hingga SMA sederajat. Namun di balik angka ini, tersimpan fakta yang tidak bisa diabaikan: beban moral dan profesional mereka sangatlah berat.

Bayangkan seorang guru madrasah di desa terpencil, mengajar santri dengan keterbatasan fasilitas, gaji yang jauh dari kata ideal, dan tantangan distribusi tenaga pengajar yang tidak merata. Data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa dari sekitar 907 ribu guru dan tenaga kependidikan madrasah, banyak yang berada dalam kondisi non-ASN, dengan kualifikasi dan sertifikasi yang belum merata.

Tapi di balik semua keterbatasan itu, ada harapan yang nyata. Dalam beberapa tahun terakhir, program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi guru madrasah tumbuh pesat. Jumlah peserta PPG naik dari 12.001 guru (2023) menjadi 95.257 guru (2025) — lonjakan sebesar794%. Ini bukan sekadar statistik — ini adalah wujud komitmen negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sekaligus memberikan pengakuan yang layak bagi para pendidik.

Guru ini bukan hanya menyampaikan pelajaran. Mereka menanam benih moral, membentuk karakter, dan menjaga identitas spiritual generasi muda. Di tengah arus modernisasi, globalisasi, dan disrupsi teknologi, peran mereka menjadi makin strategis: sebagai pembimbing nalar dan penegak nilai. Mereka merawat integritas bangsa melalui kelas, teguran lembut, doa di ujung pelajaran, dan senyum di akhir hari.

Inilah martabat pendidikan yang sejati — bukan hanya tentang kecerdasan kognitif, tetapi tentang keberanian moral. Hari Guru seharusnya menjadi lebih dari seremoni: itu adalah pengakuan atas pengorbanan, dedikasi, dan cinta yang diajarkan guru setiap hari. Ketika kita menghargai guru secara nyata — lewat kebijakan, pelatihan, dan kesejahteraan — kita meneguhkan masa depan bangsa yang tidak hanya pintar, tetapi juga berakhlak.

Meneguhkan Peran Guru Madrasah dalam Menjaga Moral Bangsa

Setiap peringatan Hari Guru mengingatkan kita bahwa guru madrasah memegang peran yang jauh lebih luas daripada sekadar menyampaikan pelajaran. Mereka adalah penjaga moral bangsa, pembangun karakter, dan pembimbing spiritual generasi muda. Di ruang kelas yang sederhana, terkadang dengan fasilitas yang terbatas, para guru madrasah berjuang memastikan peserta didik tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak dan berjiwa sosial.

Data Kementerian Agama menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 900 ribu guru dan tenaga kependidikan madrasah, sebagian di antaranya masih berstatus non-ASN dan belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan yang layak. Dalam realitas ini, ketulusan pengabdian menjadi modal terbesar mereka. Mereka mengajar dengan jam kerja panjang, tugas administrasi yang tidak sedikit, namun tetap hadir setiap pagi dengan senyum dan doa untuk murid-muridnya. Banyak dari mereka bekerja bukan karena fasilitas, tetapi karena cinta pada ilmu dan generasi.

Baca Juga  Kehadiran Negara dalam Pesantren (Refleksi Menjaleng Hari Santri 22 Oktober)

Di lingkungan madrasah, pendidikan bukan hanya soal nilai raport. Di sana, guru menanamkan pembiasaan ibadah, sopan santun terhadap sesama, cara menghargai perbedaan, hingga kecintaan kepada tanah air. Model pendidikan seperti ini menjadi sangat penting di tengah perubahan sosial yang kompleks. Survei nasional menunjukkan peningkatan kasus perundungan di sekolah dan meningkatnya tantangan disrupsi teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan karakter peserta didik. Dunia digital memberikan peluang besar bagi pembelajaran, tetapi juga membuka pintu informasi yang tidak semuanya sehat bagi perkembangan moral anak.

Di sinilah guru madrasah memainkan peran sentral. Dengan pendekatan pengajaran yang menyeimbangkan ilmu pengetahuan dan nilai keagamaan, mereka menjadi garda terdepan membentuk generasi literat secara akademik sekaligus bermartabat secara moral. Pendidikan ala madrasah berjalan dengan prinsip totalitas: guru menjadi teladan, bukan hanya pengampu mata pelajaran. Banyak siswa yang mengingat bukan materi pelajaran, melainkan lembutnya bimbingan, ketegasan yang mendidik, atau kalimat sederhana yang mengubah arah hidup.

Namun, semua upaya ini perlu ditopang sistem yang lebih kokoh. Pemerintah telah mendorong peningkatan profesionalisme melalui sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Bahkan pada 2025, jumlah guru madrasah yang mengikuti PPG melonjak hingga 794% dibanding dua tahun sebelumnya, menunjukkan adanya dorongan kuat memperbaiki kualitas tenaga pendidik secara nasional. Meski begitu, distribusi fasilitas, kesenjangan kompetensi, dan standar kesejahteraan masih menjadi PR nasional yang belum selesai.

Guru madrasah telah memberikan banyak—waktu, tenaga, pikiran, bahkan hidup mereka. Maka wajar kiranya bangsa memberikan sesuatu kembali: penghargaan yang lebih layak, kebijakan yang lebih berpihak, serta ekosistem pendidikan yang mendukung guru untuk terus berkembang.

Untuk semua guru madrasah yang telah menjaga moral bangsa dari ruang kelas yang mungkin tidak pernah masuk berita, perjuangan itu tidak pernah sia-sia. Setiap pelajaran yang diberikan, setiap nilai yang ditanamkan, bahkan setiap doa yang dipanjatkan untuk siswa—akan selalu menjadi bagian dari perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih berkarakter, lebih cerdas, dan lebih bermartabat. Selamat Hari Guru, para penjaga cahaya pendidikan bangsa.

Guru Madrasah, NU, dan Tantangan Masa Kini

Di setiap sudut pesantren dan madrasah yang dikelola Nahdlatul Ulama (NU), bergeliat semangat para guru yang bukan hanya mengajar pelajaran, tetapi juga membangun moral generasi. Bagi NU, guru madrasah bukan sekadar pengajar: mereka adalah pemikul amanah spiritual dan sosial, pewaris tradisi keilmuan Islam yang memperkuat akar nilai agama sekaligus nasionalisme.

NU dari sejak awal berperan besar dalam memperjuangkan pendidikan Islam yang moderat dan berkarakter. Melalui lembaga pesantren dan madrasah di bawah naungannya, para ustaz dan kiai mengajarkan nilai-nilai seperti toleransi, keadilan, dan tanggung jawab sosial—tidak hanya teori, tetapi juga teladan dalam keseharian. Di mata NU, guru adalah penjaga adab, tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter agar siswa tidak hanya cerdas, tetapi bermoral.

Baca Juga  Ruhul Jadid dalam R&D Bidang Pendidikan

Namun, realita guru madrasah saat ini penuh tantangan. Salah satu isu terbesar adalah kesejahteraan dan status profesional mereka. Menurut data Kementerian Agama (Kemenag), masih ada 484.678 guru madrasah yang belum mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG), bagian dari total guru binaan yang belum bersertifikasi.

Tahun 2025 membawa kabar baik sekaligus tantangan baru. Peserta PPG meningkat drastis: dari cuma 12.001 guru pada 2023, menjadi 95.257 guru pada tahun 2025 — lonjakan hingga 794 %. Ini menunjukkan upaya negara untuk memperkuat profesionalisme dan kompetensi pendidik madrasah, tetapi juga menegaskan bahwa beban sertifikasi selama ini sangat besar dan belum teratasi secara merata.

Lebih jauh lagi, Kemenag mencatat bahwa pada PPG Angkatan 3 tahun 2025, 101.786 guru madrasah dan pendidikan agama dinyatakan lulus. Bagi banyak guru, ini bukan sekadar soal sertifikat: setelah dinyatakan lulus, mereka berhak atas Nomor Registrasi Guru (NRG), yang menjadi pintu untuk mencairkan Tunjangan Profesi Guru (TPG).

NU, dengan tradisi pesantren yang kaya akan nilai moral dan intelektual, menaruh harapan besar pada guru madrasah: bahwa mereka tidak hanya menguasai materi, tetapi juga menjadi teladan dalam beragama dan berbangsa. Nilai-nilai moderasi, toleransi, dan cinta tanah air yang diusung NU harus terus diwariskan, apalagi di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang bisa meruntuhkan jembatan nilai jika tidak dikelola dengan baik.

Tantangan lain yang muncul adalah era teknologi dan media sosial. Generasi sekarang sangat terpapar informasi: baik konten positif maupun negatif. Guru madrasah harus mampu menjadi pemandu moral dan intelektual di era ini, mengajarkan cara berpikir kritis sekaligus menjaga nilai-nilai spiritual. Mereka tidak hanya mentransfer kurikulum pendidikan formal, tetapi juga membangun literasi digital, karakter, dan kesadaran kebangsaan.

Dalam kerangka NU, peran ini sangatlah cocok: guru madrasah menjadi jembatan antara tradisi pesantren yang kaya nilai dan tuntutan modern untuk berpikir global. Mereka diharapkan mampu mengenalkan Islam ramah, toleran, dan damai, sambil menguatkan rasa kebangsaan yang mencintai Indonesia, sebagai rumah bersama.

Akhirnya, tantangan ini sekaligus panggilan: negara perlu memberi dukungan nyata kepada guru madrasah—dalam hal sertifikasi, pelatihan, dan kesejahteraan. Tanpa itu, beban moral dan profesional yang mereka pikul bisa melelahkan. Namun dengan dukungan, guru madrasah, terutama yang berafiliasi dengan NU, bisa terus menjadi penjaga moral bangsa, pelita nilai di tengah gelombang zaman, dan motor pencerahan bagi generasi penerus. (*)

Share :

Baca Juga

Opini

Alam Terkembang jadi Guru

Opini

Ruhul Jadid dalam R&D Bidang Pendidikan

Opini

Guruku, Terima Kasih

Opini

Inovasi FKIP Untirta 2025: Dari Pedagogi Pancasila hingga School Partnership Model

Opini

Wahai Santri SDQ Amirul Mukminin Jadilah Bright Star!

Opini

Inovasi Kelembagaan dan Organisasi Bawaslu Sebagai Penjaga Integritas Elektoral

Opini

Tujuh Fundamental Kampus Berdampak Kelas Dunia

Opini

Budaya Inovasi: Penggerak Kampus Berdampak