Oleh Ferry Fathurokhman SH MH Ph.D
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tulisan ini khusus dibuat untuk anda yang menjadi pemimpin dan memiliki jiwa kepemimpinan. Saya tumbuh dalam beragam organisasi dan tenggelam dalam buku-buku kepemimpinan tulisan Dale Carnegie, John C Maxwell, Steven R Covey dan sejenisnya sebagai bekal dalam memimpin organisasi dan kelembagaan, bahkan saya juga mempelajari buku pegangan para diktator Niccolò Machiavelli berjudul il principe yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Prince, dan Sang Pangeran dalam Bahasa Indonesia.
Tapi sesungguhnya, dari sekian literatur tentang kepemimpinan, prinsip-prinsip dan praktek tentang kepemimpinan, keadilan, dan integritas dapat mudah dijumpai dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafau Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib).
Tak peduli agama, dan ras apa pun, Islam mengajarkan keadilan. Seorang Yahudi mendapatkan keadilan saat rumahnya hendak digusur, Ali bin Abi Thalib kalah dalam perkara pencurian melawan seorang Yahudi karena tak memiliki bukti yang cukup, yang hakimnya adalah Umar bin Khattab saat itu.
Kita dibekali akal pikiran dan nurani yang ‘built-in’ ada dalam diri untuk bekal dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil secara tergesa-gesa, emosional, dan bisikan yang tidak diklarifikasi akan menjadikan kita pemimpin yang mengarah pada kediktatoran.
Godaan kita saat berkuasa adalah keinginan pribadi yang menyelinap sebagai kepentingan publik. Maka pastikan benar-benar yang kita lakukan murni untuk kepentingan orang banyak. Sikap mendahulukan kepentingan rakyat pernah selalu dilakukan Umar bin Khattab seperti misalnya saat dilanda kesulitan, Hafsah radiallahuanha, yang merupakan istri nabi, sekaligus anaknya Umar bin Khattab, justru mendapatkan jatah pembagian makanan belakangan, karena yang didahulukan adalah rakyat.
Satu waktu Umar kedatangan anaknya dan memastikan apakah kedatangannya urusan pribadi atau umat. Umar memadamkan api penerangan ruangan karena yang dibahas adalah urusan pribadi, Umar tidak mau mencampuradukan masalah keluarga dengan negara, sebab minyak api penerangan dibiayai negara. Tidak ada dalam buku kepemimpinan yang mempraktikan keteladanan sedetail yang dilakukan nabi dan khulafa rasyidin.
Pada saat kita diberi amanah sebuah jabatan, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama sebagai sebuah amanah pandanglah ini sebagai sesuatu yang besar yang akan dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Sikap ini akan membawa kita menjadi pemimpin yang melakukan hal terbaik untuk memberikan manfaat pada orang banyak.
Kedua sebagai sebuah jabatan pandanglah ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang sementara dan tak abadi, hal kecil. Sikap ini akan membuat kita jauh dari perilaku arogan, sewenang-wenang, aji mumpung berkuasa dan lain sebagainya yang akan menyeret kita menjadi manusia rendah yang tak bernilai.
Tentu tulisan ini tak nyaman dibaca bagi kita yang sedang berkuasa, tapi tulisan ini akan menjadi pengingat yang akan menyelamatkan kita dari arogansi kekuasaan. Bersyukurlah jika kita dikelilingi oleh orang-orang yang mengingatkan, sebagaimana H. Agus Salim yang pernah mengingatkan dan mengkritik HOS Tjokroaminoto Ketua Syarikat Islam agar berhati-hati tidak tergelincir pada kultus yang berlebihan dari orang-orang yang mencintainya.
Kritik itulah yang justru membuat H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto menjadi dekat, disaat banyak orang yang menyanjung dan mengelukannya, H.Agus Salim justru mengingatkan dan menyelematkannya.
Memang tentu saja, untuk memegang teguh prinsip keadilan dan integritas ada harga yang harus dibayar: diasingkan, dikucilkan, tidak diberi jabatan, dimutasikan, dicopot jabatan, dan bahkan yang tertinggi adalah kehilangan nyawa. Menyikapi hal semacam ini sedapat mungkin kita meluruskan yang dapat kita luruskan, cari ruang kompromi yang tidak menggadaikan idealisme, tapi dalam banyak kasus, jika tak ada lagi jalan memang yang terakhir seringkali harus juga kita relakan.
Jika harus mati pastikan berada dalam jalan yang diridhoiNya. Orang-orang baik dan pilihan telah selesai dengan baik, sementara kita belum jelas bagaimana akan berakhir. Ikhtiarkan selalu untuk berakhir dengan baik, dalam hal jabatan, juga kematian.
Terakhir, sebenarnya ini bukan tujuan, karena tidak penting kita ingin dikenang sebagai apa, sepanjang kita melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan, maka itu sudah cukup. Tapi pada akhirnya orang-orang akan memiliki memori tentang kita, tentang kepemimpinan kita.
Presiden, menteri, rektor, dekan, ketua jurusan, Ketua RT seperti apa kita di mata orang-orang. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang meninggalkan warisan (legacy) yang baik, baik berupa keteladanan atau pun capaian lainnya.
Kenangan baik itulah yang membekas dan melintas waktu meski ribuan tahun tahun lamanya. Jangan mengira hal yang dilakukan Nabi, Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali adalah hal yang utopia.
Kita bisa sebut nama di era kini, ada Bung Hatta, Hoegeng, Baharudin Lopa, Artidjo Alkotsar, dan banyak lagi, pemimpin yang berakhir dengan baik dan dicintai rakyatnya. Jadilah pemimpin yang adanya membahagiakan, dan ketiadaannya dirindukan banyak orang. Bukan pemimpin yang adanya menyusahkan, dan tidak adanya disyukuri banyak orang. (*)



















