Home / Opini

Kamis, 23 Oktober 2025 - 16:23 WIB

Kolaborasi Kampus dan Keluarga Tangkal Perundungan

Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pengantar

Peristiwa tragis yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, pada 15 Oktober 2025, kembali mengguncang kesadaran publik tentang bahaya perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan.

Kepergiannya memunculkan duka mendalam dan pertanyaan serius mengenai kesiapan keluarga, kampus, dan masyarakat dalam melindungi generasi muda dari tekanan sosial yang berujung fatal. Fenomena ini menunjukkan bahwa pencegahan perundungan tidak dapat diserahkan hanya kepada lembaga pendidikan, melainkan memerlukan peran aktif keluarga dan lingkungan sosial yang peduli.

Kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan psikologis dan bunuh diri di kalangan pelajar serta mahasiswa menjadi alarm bagi dunia pendidikan Indonesia. Banyak riset menunjukkan bahwa anak dan remaja yang memiliki hubungan keluarga hangat, komunikatif, dan suportif, cenderung memiliki daya tahan psikologis lebih baik.

Oleh karena itu, kolaborasi antara kampus dan keluarga menjadi faktor strategis dalam menumbuhkan resiliensi mahasiswa, yakni kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri, dan bangkit dari tekanan hidup. Kolaborasi ini menjadi fondasi bagi pendidikan tinggi yang berkeadaban—mencegah lahirnya pelaku perundungan dan melindungi korban dari keputusasaan.

Mengenali Dampak Perundungan

Perundungan atau bullying tidak hanya terjadi di sekolah dasar dan menengah, tetapi juga merambah ke lingkungan perguruan tinggi. Bentuknya bisa berupa kekerasan verbal, intimidasi sosial, pelecehan digital, hingga tekanan dalam sistem senioritas yang tidak sehat.

Perundungan sering kali bersembunyi di balik candaan, tugas kelompok, atau ritual organisasi yang melampaui batas. Di era digital, bentuk cyberbullying semakin mengkhawatirkan karena jejaknya tersebar luas dan sulit dikendalikan.

Dampaknya sangat serius. Korban perundungan dapat mengalami kecemasan, kehilangan motivasi belajar, penurunan prestasi, bahkan gangguan mental yang berkepanjangan. Ironisnya, pelaku perundungan pun sering kali lahir dari pengalaman kekerasan emosional yang tidak terselesaikan, baik di lingkungan keluarga maupun sosial.

Karena itu, mengenali gejala perundungan menjadi tanggung jawab bersama: keluarga, teman sebaya, dosen, dan pihak kampus. Kampus yang peduli pada kesejahteraan psikologis mahasiswa bukan hanya menegakkan disiplin akademik, tetapi juga membangun budaya empati dan tanggung jawab sosial.

Membangun Resiliensi Mahasiswa

Baca Juga  INISIATIF DAPUR PESANTREN: Laboratorium Gizi dan Kedaultan Pangan Berbasis Komunitas

Keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap anak. Di sanalah karakter, rasa percaya diri, dan kemampuan mengelola emosi pertama kali dibentuk. Ketika hubungan keluarga penuh kasih dan komunikasi berjalan terbuka, anak belajar mengekspresikan perasaan secara sehat dan menemukan dukungan emosional yang menenangkan. Inilah fondasi resiliensi—daya lenting batin yang membuat seseorang tidak mudah rapuh saat menghadapi tekanan sosial.

Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan resiliensi dengan kehadiran yang utuh: tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Anak dan remaja yang merasa didengar, dihargai, dan tidak dihakimi akan lebih berani bercerita tentang masalahnya.

Di sisi lain, orang tua perlu menghindari gaya asuh yang keras atau terlalu menuntut, karena dapat menekan perkembangan emosional anak. Sikap empatik di rumah menumbuhkan sikap empatik di luar rumah; anak yang terbiasa dihargai cenderung menghargai orang lain. Dengan demikian, keluarga menjadi benteng moral sekaligus laboratorium sosial bagi pembentukan karakter tangguh dan berkeadaban.

Dalam konteks mahasiswa yang hidup jauh dari orang tua, peran keluarga tetap vital. Kehadiran emosional bisa dijaga melalui komunikasi daring, panggilan video, atau pesan sederhana yang menandakan perhatian. Hubungan yang terjaga akan memberi kekuatan mental bagi mahasiswa untuk mengatasi tekanan akademik dan sosial tanpa harus mencari pelampiasan negatif.

Kolaborasi Keluarga dan Kampus

Mahasiswa perlu dibekali kemampuan untuk beradaptasi, bertahan, dan bangkit dari tekanan kehidupan. Komunikasi terbuka dengan keluarga — khususnya orangtua, menjadi kunci untuk mengenali perubahan perilaku mahasiswa lebih dini.

Namun, bagi mahasiswa yang tinggal jauh dari rumah, seperti di kos atau dormitory kampus, tantangan menjadi lebih kompleks. Mahasiswa sering menghadapi tekanan akademik, isolasi sosial, dan kesepian yang tidak terlihat dari luar. Dalam situasi ini, komunikasi yang intensif antara keluarga dan pihak kampus menjadi penting untuk mencegah munculnya risiko perundungan dan gangguan mental.

Kampus dapat memainkan peran strategis dengan memperkuat koordinasi antara dosen wali, pengelola asrama, dan keluarga mahasiswa. Forum komunikasi rutin, baik secara daring maupun tatap muka, dapat menjadi sarana untuk memantau kesejahteraan mahasiswa.

Baca Juga  Mindful Movement dalam Salat: Raga Sehat, Pikiran Jernih dan Hati Damai

Dormitory kampus sebaiknya tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai ruang pembinaan karakter dan kesejahteraan sosial. Melalui pendekatan ini, kampus menjadi perpanjangan tangan keluarga dalam memastikan tumbuh kembang mahasiswa berjalan sehat secara mental dan sosial.

Media digital pun dapat dimanfaatkan untuk menjembatani hubungan jarak jauh. Orang tua dapat menggunakan aplikasi komunikasi sebagai sarana dialog harian, bukan sekadar pengawasan.

Ketahanan keluarga modern terbentuk melalui sinergi teknologi, empati, dan nilai spiritualitas, di mana setiap pihak berperan dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang aman, saling peduli, dan membebaskan dari kekerasan terselubung.

Rekomendasi: Penguatan UPA-BK Kampus

Pencegahan perundungan membutuhkan kebijakan yang menyatukan dimensi akademik dan psikososial. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengintegrasikan program pendidikan karakter berbasis keluarga ke dalam kurikulum.

Selain itu, setiap perguruan tinggi harus memiliki Unit Penunjang Akademik Bimbingan Konseling (UPA-BK) yang aktif memberikan layanan konseling psikologis, mediasi konflik, serta pendampingan mahasiswa korban maupun pelaku perundungan.

UPA-BK perlu menjadi mitra strategis bagi dosen wali, pengelola dormitory, dan keluarga dalam memantau perkembangan mahasiswa. Unit ini harus menjadi safe space—ruang aman untuk berbicara tanpa rasa takut, sekaligus pusat literasi kesehatan mental dan pelatihan konselor sebaya. Dengan sinergi antara kampus dan keluarga, setiap potensi masalah dapat dideteksi lebih dini dan ditangani secara manusiawi.

Kolaborasi ini menegaskan bahwa keluarga bukanlah pihak yang disalahkan ketika terjadi perundungan, tetapi mitra utama dalam membangun generasi yang berdaya dan beradab. Ketahanan keluarga yang didukung sistem kampus yang empatik akan melahirkan mahasiswa yang tangguh, berani menolak kekerasan, serta mampu membangun solidaritas kemanusiaan. Dari keluarga yang kuat dan kampus yang peduli, lahirlah bangsa yang berkarakter dan berkeadilan.

Daftar Pustaka

Walsh, Froma. (2016). Strengthening Family Resilience. New York: Guilford Press.

Bronfenbrenner, Urie. (2005). Making Human Beings Human: Bioecological Perspectives on Human Development. Thousand Oaks: Sage.

Lickona, Thomas. (2009). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam.

Komnas Perlindungan Anak. (2024). Laporan Tahunan Kekerasan terhadap Anak di Indonesia. Jakarta.

Share :

Baca Juga

Opini

Alam Terkembang jadi Guru

Opini

Ruhul Jadid dalam R&D Bidang Pendidikan

Opini

Guru Penjaga Moral Bangsa

Opini

Guruku, Terima Kasih

Opini

Inovasi FKIP Untirta 2025: Dari Pedagogi Pancasila hingga School Partnership Model

Opini

Wahai Santri SDQ Amirul Mukminin Jadilah Bright Star!

Opini

Inovasi Kelembagaan dan Organisasi Bawaslu Sebagai Penjaga Integritas Elektoral

Opini

Tujuh Fundamental Kampus Berdampak Kelas Dunia