Home / Opini

Kamis, 16 Oktober 2025 - 13:47 WIB

Bukan Soal Indra dan Andra: Perbaiki Sekolah

Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA

Kisah Indra, siswa perokok yang berdamai dengan Kepala Sekolah Dini Fitria, sempat menjadi berita utama. Gubernur Banten, Andra, turun tangan dan menonaktifkan sementara kepala sekolah untuk memfasilitasi mediasi, Rabu 15 Oktober 2025. Namun di balik riuh isu ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: seberapa kuat sistem pendidikan kita berdiri di atas nilai dan tata kelola yang sehat?

Pendidikan bukan soal siapa yang viral atau siapa yang disalahkan. Ia adalah soal keberanian memperbaiki sekolah dengan sungguh-sungguh. Kasus Indra hanyalah cermin kecil dari masalah besar — tentang lemahnya sistem yang membiarkan sekolah berjalan tanpa arah kepemimpinan yang kuat.

Hingga kini, beberapa SMA dan SMK di Banten belum memiliki kepala sekolah definitif. Sebagian dijalankan oleh pelaksana tugas, bahkan ada yang dirangkap alias dijegang. Situasi ini melemahkan fungsi manajerial sekolah. Tanpa pemimpin yang hadir penuh waktu, sekolah kehilangan arah moral dan administratif.

Dinas Pendidikan Provinsi Banten harus bergerak cepat. Pengisian jabatan kepala sekolah bukan urusan administratif semata, tetapi fondasi bagi tegaknya sistem pendidikan yang berwibawa. Sekolah tanpa kepala sekolah definitif ibarat kapal tanpa nakhoda: berlayar tanpa kepastian tujuan.

Kepala sekolah tidak cukup cerdas secara teknis, tetapi harus memiliki visi keimanan, keberanian, dan tanggung jawab moral. Ia harus berani menegakkan aturan, melindungi guru, serta memastikan peserta didik tumbuh dalam disiplin dan kasih sayang. Pemimpin pendidikan sejati tidak tunduk pada tekanan politik, melainkan pada nurani dan kebenaran.

Baca Juga  Pelatihan Manajemen Masjid Profesional, Moderat, dan Berdaya: Dorong Masjid Jadi Pusat Pemberdayaan dan Moderasi Beragama

Ketegasan kepala sekolah sering disalahpahami sebagai kekerasan, padahal disiplin adalah bagian dari kasih. Sekolah adalah ruang pembentukan karakter, bukan arena pemanjaan. Ketika kepala sekolah takut menegur karena takut viral, pendidikan kehilangan wibawa.

Dalam konteks itu, sekolah harus menegakkan disiplin kawasan bebas tembakau. Aturan ini bukan semata larangan merokok, tetapi simbol dari komitmen moral terhadap kesehatan, keteladanan, dan tanggung jawab sosial. Sekolah yang bersih dari asap rokok mencerminkan kepemimpinan yang berani menjaga lingkungan belajar yang sehat.

Penegakan kawasan bebas tembakau memerlukan ketegasan kepala sekolah dan dukungan guru. Murid perlu dididik, bukan hanya ditegur; diberi pemahaman tentang bahaya rokok, bukan sekadar dihukum. Di sinilah keseimbangan antara disiplin dan pendidikan diuji — antara menegakkan aturan dan menumbuhkan kesadaran.

Selain kepemimpinan, kesejahteraan guru juga perlu mendapat perhatian serius. Banyak guru yang masih menghadapi keterlambatan gaji dan tunjangan. Padahal, guru yang cemas soal penghasilan sulit sepenuhnya fokus mengajar. Menunda hak guru sama dengan menunda masa depan pendidikan.

Guru harus diberi otoritas penuh untuk mendidik. Mereka bukan sekadar pelaksana kurikulum, tetapi pembimbing nilai dan teladan hidup. Guru yang berani mendidik lahir dari sistem yang mempercayainya. Bila guru dikekang oleh birokrasi dan takut disalahkan, semangat mendidik perlahan padam.

Baca Juga  Menghidupkan Kembali Sistem Pendidikan Kasunyatan

Rasio guru dan murid juga harus seimbang. Guru yang mengajar terlalu banyak kelas sulit membangun kedekatan personal. Padahal, pendidikan sejati tumbuh dari hubungan manusiawi — antara guru yang mengenal murid, dan murid yang menghormati gurunya.

Selain sumber daya manusia, lingkungan sekolah juga harus mendukung pembentukan iman, takwa, dan akhlak mulia. Banyak sekolah yang masih miskin fasilitas rohani. Mushala atau ruang ibadah sering dianggap pelengkap, padahal ia adalah pusat pembentukan jiwa.

Sekolah tanpa rumah ibadah adalah sekolah yang kehilangan denyut spiritual. Rumah ibadah di sekolah seharusnya berfungsi edukatif — menjadi tempat refleksi, belajar berdoa, berempati, dan berbuat baik. Di sana, anak-anak menemukan keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kedalaman moral.

Kasus Indra dan Dini Fitria mestinya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar tontonan publik. Kita butuh sistem yang melindungi kepala sekolah dan guru ketika mereka menegakkan nilai dengan benar. Pendidikan tidak boleh tunduk pada opini sesaat, melainkan pada prinsip kebenaran yang mendidik.

Karena sesungguhnya, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh siapa yang viral hari ini, tetapi oleh siapa yang tetap berani menegakkan nilai, meski tanpa sorotan kamera. Perbaiki sekolah — itulah pangkal dari semua perbaikan bangsa. (*)

Share :

Baca Juga

Opini

Kehadiran Negara dalam Pesantren (Refleksi Menjaleng Hari Santri 22 Oktober)

Opini

Cimarga: Lonceng Runtuhnya Moral Sekolah

Opini

Penguatan Mustanir dan Mustamir Masjid

Opini

Inflasi Gelar: Reformasi Kurikulum Perguruan Tinggi dan Tantangan Pasar Kerja

Opini

Belajar Tanpa Tembok: Dari Diskusi Ke Kolaborasi Aksi

Opini

Tragedi Utsman: Kerja Politik Belah Bambu dan Politisasi Agama

Opini

Oase Moral yang Mengering

Opini

Matinya Rasa Kemanusiaan